JAKARTA — Rencana pemerintah untuk memangkas pos pajak pada reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) dan Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) diyakini belum akan mengerek minat manajer investasi untuk aktif meluncurkan dua produk alternatif itu.
Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan bahwa saat ini masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh manajer investasi, mulai dari minat investor, ketersediaaan proyek yang dijadikan underlying asset, keberlangsungan proyek, serta kesesuaian imbal hasil.
“RDPT dan Dinfra adalah sektor riil yang masalahnya sangat kompleks. Pajak bukan hanya masalah utama dari produk investasi sektor riil jenis ini,” katanya di Jakarta, Rabu (21/11).
Menurutnya, pelonggaran atau insentif pajak bukan menjadi faktor utama penerbitan produk investasi alternatif. Dana Investasi Real Estate (DIRE) misalnya, yang terbilang masih sepi kendati telah mendapatkan insentif pajak.
Pemerintah memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) atas pengalihan properti dalam skema DIRE dari 5% menjadi 0,5% yang berlaku sejak 2016. Tak hanya itu, pemerintah juga menghapus pajak dividen yang dibagikan oleh special purpose vehicle (SPV) kepada produk DIRE tersebut.
Sejauh ini, hanya ada satu DIRE yang tengah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni DIRE PT Ciptadana Asset Management. Adapun, DIRE yang rencananya diterbitkan oleh PT Sinarmas Asset Management masih belum diajukan ke otoritas.
Menurut Rudi, pada dasarnya regulasi yang disiapkan oleh pemerintah cukup baik. Hanya saja banyak faktor teknis yang memang menghambat penerbitan instrumen investasi alternatif. “Aturannya sudah bagus, tetapi untuk menemukan proyek yang layak dijadikan aset dasar butuh waktu,” ujarnya.
Menurutnya, manajer investasi dan investor juga butuh keyakinan bahwa proyek yang dijadikan underlying asset berjalan sesuai dengan rencana. Adanya kekahwatiran terbengkalainya proyek juga menjadi faktor penghambat penerbitan RDPT dan Dinfra.
Sulitnya menemukan underlying asset yang sesuai juga disampaikan oleh Direktur Utama PT Ayers Asia Asset Management Dastin Mirjaya Mudijana. Menurutnya, sulitnya institusi masuk ke Dinfra menjadi hambatan bagi manajer investasi.”Banyak institusi belum bisa masuk ke Dinfra,” katanya.
Dastin masih belum bersedia memberikan penjelasan lebih detail mengenai alasan sulitnya institusi masuk ke instrumen investasi tersebut.
Awalnya, perseroan akan meluncurkan dua Dinfra dengan nilai total mencapai Rp400 miliar dengan masing-masing proyek senilai Rp200 miliar. Dalam rencana awal, satu produk Dinfra akan diluncurkan pada Agustus lalu.
Lantaran adanya hambatan itu, Ayers mengubah instrumen penerbitan menjadi RDPT. “Untuk produk RDPT itu nanti akan menggunakan underlying asset yang sama atau berbeda nanti akan kami berikan penjelasan jika sudah final. Karena sekarang masih proses,” tegasnya.
Sementara itu, sebagai upaya untuk merangsang penerbitan RDPT dan Dinfra, OJK telah mengajukan proposal keringanan pajak kepada Kementerian Keuangan. Dalam pengajuaannya, RDPT dan Dinfra akan mendapat perlakuan yang sama dengan DIRE dari sisi perpajakan.
“Artinya kalau ada SPV tidak ada pajak ganda, karena SPV dimilili oleh originator atau DIRE itu sendiri. Saat bagi dividen kami juga ajukan ketentuan yang sama seperti DIRE,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen.
Hoesen menambahkan, selain memicu penerbitan produk investasi alternatif, upaya ini dilakukan untuk menyetarakan tarif dan skema pajakproduk kontrak investasi kolektif (KIK). Dia meyakini, permintaan ini akan mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Sumber: market.bisnis.com
Leave a Reply