Jakarta – Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo menyatakan hingga kini belum ada kebijakan moneter khusus yang diperlukan untuk mengatasi persoalan inflasi, terutama inflasi di sektor pangan. Sebab, tingkat inflasi secara nasional masih terkendali dan berada di rentang target pemerintah yaitu 3,5 persen plus minus 1 persen. “Inflasi, no issue untuk sementara waktu,” katanya, dalam acara diskusi di Graha Niaga, Jakarta Selatan, Rabu, 21 November 2018.
Badan Pusat Statistik atau BPS pada awal November lalu mengumumkan inflasi pada Oktober 2018 ini mencapai 0,28 persen month-to-month (mtm) dan 3,16 persen year-on-year (yoy). Kepala BPS Suhariyanto hanya meminta agar perhatian khusus diberikan pada Desember 2018 saat natal dan liburan akhir tahun. Pada momentum inilah inflasi biasanya mulai beranjak naik.
Walau masih ada dua momentum besar tersebut, BI tetap mematok proyeksi inflasi hingga akhir 2018 masih cukup rendah yaitu 3,2 persen atau di bawah titik tengah 3,5 persen. Itulah sebabnya, isu inflasi agak dipinggirkan sementara, sehingga fokus utama BI saat ini adalah mengontrol Current Account Deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan yang pada kuartal III mencapai 3,37 persen, menembus batas aman 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution setali tiga uang. Ia mengatakan saat ini Indonesia menghadapi persoalan yang pelik terkait transaksi berjalan yang defisit, terlebih jika masalah ini sering kali dibawa ke ranah politik.
“Kita itu kan di bidang ekonomi, menghadapi persoalan fakta-fakta, bahwa transaksi berjalan kita defisitnya, walaupun tidak besar sekali, tapi cukup merepotkan,” kata Darmin, di kantornya, Senin, 19 November 2018.
Meski begitu, menurut Dody, defisit tetap harus dijaga agar tidak liar. Defisit tersebut masih tergolong sehat karena salah satu komponennya, yaitu impor, masih disalurkan untuk mendorong investasi.
Sebagai contoh, impor nonmigas September 2018 meningkat 13,54 persen dibanding September 2017. “Ini impor memang untuk mendorong infrastruktur, impor belanja modal masih di atas impor konsumsi,” kata Dody.
Selain defisit transaksi berjalan, perhatian BI saat ini juga dialihkan pada Balance of Payment atau Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mengalami defisit sebesar US$ 4,4 miliar pada kuartal III 2018. Angka ini naik dari defisit pada kuartal II 2018 yang hanya US$ 4,3 miliar. Melebarnya defisit NPI di kuartal III 2018 ini juga tak lepas dari meningkatkan defisit transaksi berjalan tersebut.
Kedua masalah ini sebenarnya bisa di atasi lewat perbaikan di sektor industri pengolahan atau manufaktur, mengontrol impor, dan menggenjot ekspor. Tapi menurut Direktur Eksekutif dari lembaga think tank, Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, kebijakan yang ditularkan pemerintah dan tren yang terjadi masih belum berdampak signifikan.
Dody mencontohkan dari sisi investasi di sektor sekunder seperti manufaktur. Pada kuartal III 2018, Penanaman Modal Asing (PMA) untuk sektor sekunder turun 24 persen dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) turun 13 persen. Beberapa masalah, kata dia masih menghambat investasi dan belum terpecahkan solusinya. “Pembebasan lahan sampai tumpang tindih peraturan.”
Regulasi pengurangan impor seperti kebijakan PPH impor dan bea masuk barang konsumsi juga dinilai tidak siginfikan, meskipun tetap menuai hasil. Jika dilihat lebih luas yaitu dari Januari sampai September 2018, impor barang modal tumbuh 28,7 persen yoy, tapi impor barang konsumsi lebih tinggi lagi, 29,3 persen yoy.
Sementara regulasi untuk menggenjot ekspor seperti pemotongan pajak deposito Dana Hasil Ekspor (DHE) juga ternyata tidak banyak diminati eksportir. Pada Januari hingga September 2018, ekpor produk manufaktur hanya tumbuh 5 persen, lebih rendah dari capaian sepanjang 2017 yaitu 15 persen.
Sumber : tempo.co
Leave a Reply