Prabowo Mengkritik, Sri Mulyani Buka Suara

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tersirat membalas kritikan pedas calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto mengenai tax ratio Indonesia yang rendah.

Saat menjadi pembicara di Indonesia Forum Economic, Prabowo menyebut tax ratio di Indonesia terlampau kecil, dan bahkan tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Afrika.

Tax ratio yang stagnan di angka 10-12%, dianggap membuat Indonesia kehilangan pendapatan negara setara US$ 60 miliar karena pemerintah salah dalam mengelola perekonomian.

“Misalnya Zambia, [tax ratio] 16% saat ini. Kita perlu pergi ke sana dan belajar kepada pemerintah di sana, bagaimana mereka bisa melakukan manajemen yang baik seperti mereka,” kata Prabowo.

“Kita cenderung memandang rendah negara-negara Afrika dan orang Afrika. Tapi saat ini nyatanya mereka tampil lebih bagus dari pada kita bangsa Indonesia,” sesal mantan Panglima Kostrad itu.

Badan Pemenangan Nasional Prabowo Sandiaga pun menganggap, rendahnya tax ratio di Indonesia disebabkan dari rezim perpajakan yang dipimpin pemerintah terlalu memberatkan dan tak kompetitif.

Tarif pajak yang dikenakan di Indonesia erlalu tinggi, dan diklaim sebagai salah satu penyebab tingkat kepatuhan para pembayar pajak yang masih cukup rendah.

Belum lagi, sejumlah pernyataan pemerintah yang kerap kali membuat wajib pajak tidak bisa tidur nyenyak, meskipun sudah menunaikan kewajiban perpajakannya kepada negara.

“Ini masalah kredibilitas. Misalnya, ketika tax amnesty yang kampanyenya sangat gencar. Anda ikut amnesty, bisa tidur nyenyak. Tapi malah tidak bisa tidur karena dikejar,” jelas Anggota BPN Dradjad Wibowo.

Ketika menjadi pembicara dalam acara Kompas Gramedia, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah saat ini terus berupaya meningkatkan tax ratio Indonesia.

“Ada yang bilang kalau tax ratio kita itu rendah. Makanya kita perbaiki, tanpa menimbulkan kekhawatiran bagi perekonomian,” kata Sri Mulyani di Ritz Carlton, Kamis (22/11/2018).

Tax ratio, atau rasio pendapatan pajak terhadap PDB yang mengukur formula kinerja perpajakan dengan membandingkan penerimaan pajak dari PDB dalam waktu tertentu.

Semakin rendah tax ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbaga sektor belum optimal.

Namun, akselerasi perekonomian pada tahun ini membuat penerimaan negara terutama dari sisi pajak moncer. Per 31 Oktober 2018, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.160,7% atau tumbuh 17% yoy.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bahkan optimistis, penerimaan pajak pada tahun ini akan jauh lebih baik dibandingkan realisasi tahun-tahun sebelumnya.

“Growth penerimaan positif robust, belanja bagus, defisit lebih kecil. Sehingga tax ratio naik, spending naik. Semua nilainya hijau dan biru. Tidak ada yang merah rapornya,” tegas dia.

Pada 2014 lalu, tax ratio berada di 13,7%. Namun, tax ratio kemudian menurun di 2015 menjadi 11,6%, turun lagi menjadi 10,8% di 2016, dan makin menciut sampai 10,7% pada 2017 lalu.

Pada tahun ini, pemerintah menargetkan bisa meningkatkan tax ratio hingga 11,6%. Sementara itu, untuk tahun depan tax ratio ditargetkan bisa berada di 12,1%.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only