Kenaikan sektor properti berefek ganda pada penerimaan, yaitu dari Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan Final, dan BPHTB.
Rencana pemerintah memperlonggar Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk properti disambut antusias berbagai pihak. Namun, nilainya harus siginifikan agar dampaknya lebih terasa dalam membangkitkan sektor ini agar kompetitif dan berdaya saing.
Menurut Yustinus Prastowo, rencana kenaikan ambang batas pengenaan PPnBM rumah mewah belum efektif untuk menggairahkan sektor properti. Ekonom dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis ini menilai batasan pengenaan PPnBM masih terlalu rendah. “Kenaikan batas dari Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar kurang tinggi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (22/11).
Ia menyarankan pemerintah menaikkan batas pengenaan pajak menjadi Rp 40-50 miliar atas setiap properti mewah. Apalagi, pengaruh penerimaan PPnBM terhadap penerimaan pajak tidak besar lantaran hanya dikenakan satu kali pada primary market. Adapun batasan Rp 50 miliar diperkirakan dapat menggerakkan pasar sektor properti yang saat ini lesu.
Selain itu, ia menilai batas Rp 30 miliar akan sulit direvisi apabila terjadi inflasi. Terlebih lagi, harga sektor properti kerap naik dengan cepat. “Masa setiap tahun aturan direvisi?” ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah berkomunikasi dengan pelaku usaha. Apabila pasar sektor properti meningkat, ada efek berganda atau multiplier effect pada penerimaan, yaitu dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Final, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Di sisi lain, Prastowo menyetujui rencana penurunan tarif PPh Pasal 22 dari pembelian properti menjadi 1 persen. Namun demikian perlu ada perubahan batasan pengenaan harga jual.
Pengenaan PPh perlu ditingkatkan di atas Rp 10 miliar, yakni Rp 15 miliar atau Rp 20 miliar. “Supaya sinkron dengan PPnBM. Jadi orang kena PPh yang Rp 5 miliar, sementara beli di atas itu baru kena PPnBM,” ujarnya.
Sementara itu, ekonom dari Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan keputusan pemerintah sudah tepat untuk menggerakkan sektor properti. Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) dengan pelonggaran rasio kredit terhadap agunan atau loan to value (LTV). “LTV sudah dilonggarkan dan ada stimulus dari sisi pajak,” ujarnya.
Kebijakan tersebut dinilai dapat mendorong investasi pada sektor properti. Sebab, ada pengaruh besar sektor properti terhadap ekonomi. (Baca juga: Jokowi Kumpulkan Menteri, Bahas Pajak dan Investasi).
Dia menilai batasan pengenaan PPnBM sebesar Rp 30 miliar sudah menjadi cerminan rata-rata rumah mewah di berbagai daerah. Besaran tersebut juga dinilai wajar sesuai dengan potensi kenaikan harga.
David berpendapat kenaikan batas PPnBM tidak akan memengaruhi penerimaan pajak, sebab pemerintah sudah melakukan perhitungan ekonomi. Keringanan pajak tersebut juga diperkirakan memberikan efek berganda teradap penerimaan pajak.
Seperti diketahui, pemerintah akan menaikkan ambang batas pengenaan PPnBM untuk properti mewah dari sebelumnya Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar. Selain itu, Kementerian Keuangan bakal menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pembelian properti dari sebelumnya 5 persen menjadi 1 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, relaksasi ini dilakukan untuk mendorong sektor konstruksi. Oleh sebab itu, dua aturan yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90 Tahun 2015 dan PMK Nomor 35 Tahun 2017 akan direvisi. “Kami akan selesaikan (revisi) PMK untuk properti terutama untuk rumah dan apartemen,” katanya.
Saat ini, ketentuan mengenai PPnBM properti mewah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.03/2017. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 20 persen dari nilai jual. Pajak ini berlaku untuk rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp 20 miliar atau lebih. Selain itu diterapkan bagi apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 10 miliar atau lebih.
Sementara ketentuan mengenai PPh 22 untuk properti mewah diatur dalam PMK No.90/PMK.03/2015 yang merupakan perubahan dari PMK No.253/PMK.03/2008. Tarif pajak yang dikenakan adalah 5 persen bagi rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi.
Begitu juga atas apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi.
Sumber: katadata.co.id
Leave a Reply