Ditjen Pajak Sebut Aturan Insentif Baru Bukan Tax Amnesty

Jakarta — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165 tahun 2017 yang merupakan perubahan kedua atas tentang pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak.

Aturan itu ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada tanggal 20 November 2017.

Di dalam aturan tersebut, Wajib Pajak (WP) diwajibkan untuk melaporkan harta tambahan yang tidak dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh).

Aturan ini berlaku bagi WP yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty)maupun yang tidak ikut tax amnesty.

Di dalam peraturan tersebut, WP tidak diwajibkan melaporkan tambahan harta dalam tenggat waktu tertentu, sehingga aturan ini bersifat jangka panjang.
Selain itu, berdasarkan beleid tersebut, PPh tersebut akan dikenakan tarif normal. Hanya saja, jika DJP menemukan harta WP yang belum dilaporkan, maka pemerintah akan memberikan sanksi.

Untuk WP peserta tax amnesty, sanksi administrasi yang dikenakan terbilang 200 persen dari PPh terutang.

Sementara itu, untuk peserta yang tidak mengikuti tax amnesty, maka sanksi yang akan dibebankan adalah bunga sebesar 2 persen per bulan dengan periode maksimal 24 bulan sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Meski dianggap memberi kelonggaran dari segi perpajakan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa kebijakan ini bukanlah tax amnesty jilid terbaru.

Sebab, tujuan dari kebijakan ini tidak fokus pada menggenjot penerimaan, namun untuk penegakan hukum pasca pelaksanaan kebijakan tax amnesty.

“Karena sebagian sudah ikut tax amnesty, tapi kami juga tidak akan membiarkan yang tidak patuh untuk terus tidak patuh. Kami lakukan ini justru untuk penegakan hukum,” ungkap Hestu di Manado, Rabu (22/11).

Beda Tarif

Selain dari segi tujuan, tarif dan mekanismenya pun berbeda jika dibandingkan tax amnesty. Tarif PPh yang digunakan dalam kebijakan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017.

Dalam PP itu, harta yang belum dilaporkan antara 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 wajib menjadi objek PPh dengan tarif 25 persen terhadap dasar pengenaan PPh untuk WP badan, 30 persen untuk WP pribadi, dan 12,5 persen untuk WP tertentu.

Di sisi lain, ketentuan tarif tax amnesty ini sudah tercantum tersendiri di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016.

“Makanya apabila ada harta yang belum dideklarasikan atau belum dilaporkan dalam SPT, maka harta tersebut akan dianggap penghasilan dan dikenakan tarif normal,” tambahnya.

Untuk itu, DJP mempersilahkan WP jika tidak ingin melaporkan hartanya kapan pun selama belum ada Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) yang dilayangkan.

Di samping itu, Hestu juga berharap WP tidak merasa khawatir akan diperas oleh DJP. Sebab, ia menjamin penilaian yang dilakukan instansinya sudah sesuai dengan standar yang berlaku.

“Cara perhitungan ada di PMK tersebut. Kami bantu menilai dan kami jamin nilainya fair. Penilaian kami menggunakan standar baku dan internasional, dan penilai kami dididik untuk tidak menghitung secara asal-asalan. Dengan membayar PPh sesuai PP Nomor 36 Tahun 2017, tentu keuntungannya ya tidak ada sanksi,” pungkas Hestu.

 

Sumber : cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only