Industri Alas Kaki Butuh Pijakan Kuat

Jakarta. Tahun depan pelaku industri alas kaki masih akan menghadapi tantangan berat. Kebijakan upah minimum provinsi (UMP) dan perpajakan menjadi dua isu utama uang membayangi pelaku bisnis. Akibatnya mereka kalah bersaing dengan pelaku industri negara lain.

UMP yang tinggi, misalnya, mendorong sejumlah pabrik alas kaki di wilayah Jabodetabek migrasi ke daerah lain dengan UMP yag lebih rendah. Sementara pebisnis tak banyak memanfaatkan kebijakan tax allowance lantaran dianggap kurang menjawab permasalahan.

Firman Bakri, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Sepatu Indonesia (Aprisindo) menilai, pelaku usaha lebih membutuhkan tax holiday ketimbang tax allowance. “Sebab industri ini penyerapan tenaga kerja tinggi sementara UMP makin tinggi pula,” kata dia kepada Kontan, Minggu (25/11).

Karena tantangan bisnis masih besar, tahun 2019 pelaku industri alas kaki cenderung wait and see atau menunggu momentum tepat untuk berinvestasi. Salah satu yang mereka harapkan adalah comprehensive economic partnership agreement (CEPA) dengan European free trade agreement atau IU-CEPA segera terealisasi. Kerjasama multilateral itu berpotensi mengerek ekspor sepatu dan menggaet investor baru.

Padahal, sebenarnya potensi pasar alas kaki domestik dan ekspor sangat besar. Untuk pasar dalam negeri saja, Aprisindo memperkirakan paling tidak setiap penduduk Indonesia memiliki dua pasang sepatu. Jadi dalam setahun volume pasar sepatu domestik sekitar 500 juta pasang sepatu. Sementara rata-rata pertumbuhan ekspor sepatu 5%-6% per tahun.

Mayoritas pemain alas kaki dalam negeri adalah pelaku industri kelas menengah dan kecil. Adapun pelaku industri besar lebih banyak menggarap ekspor. Termasuk skema maklon.

Tantangan infrastruktur

Salah satu pelaku industri alas kaki yakni PT Sepatu Bata Tbk pun mengaku bisnis tak selalu berjalan mulus. Demi merambah pasar Indonesia bagian timur, mereka harus berjibaku dengan kondisi infrastruktur. “Daerah timur sangat potensial karena kemampuan belanja tinggi dan persaingan lebih sedikit, Cuma kendala di distribusi karena lead time transportasinya cukup lama,” ujar Heru Hartanto, Retail Sales Manager PT Sepatu Bata Tbk.

Saat ini, Sepatu Bata memiliki 47 gerai di Sulawesi dan Papua. Produsen dan distributor alas kak itu memastikan jumlah gerai di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur bakal meningkat.

Pelaku industri lain, PT Ardiles Ciptawijaya pun terus berusaha menjaga harga jual demi menyesuaikan dengan target konsumen menengah ke bawah. Strateginya dengan menekan biaya produksi. “Sekarang katanya daya beli menurun atau stagnan, jadi pricing policy kami sesuaikan dengan daya beli masyarakat, jangan sampai mereka terbebani,” tutur Robert Daud, National Director Ardiles, Jumat (23/11) pekan lalu.

Namun Ardiles masih yakin mampu mencetak pertumbuhan penjualan sebesar 30% pada tahun depan. Sementara rata-rata pertumbuhan industri 5%-10% per tahun.

Sumber: Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only