Pajak Obligasi Turun Tak Jadi Momok Seram Bagi Perbankan

Jakarta – Rencana pemerintah menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi bunga surat utang atau obligasi pemerintah hingga swasta dinilai menjadi ancaman yang patut diwaspadai oleh sektor perbankan.

Direktur Keuangan dan Treasury Bank Tabungan Negara (BTN) Iman Nugroho Soeko mengaku sepaham dengan pendapat ini.

Namun, ia menegaskan ada perbedaan yang cukup signifikan antara obligasi pemerintah dan instrumen perbankan seperti deposito misalnya.

“Betul, karena artinya net yield (imbal hasil) obligasi bisa lebih menarik daripada deposito bank. Cuma harus diingat obligasi adalah instrumen pasar modal yang tenornya lebih panjang diatas 3 tahun,” katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (27/11/2018).

Melihat jangka waktu ini, Iman mengungkapkan peralihan dana ke pasar obligasi cenderung akan terbatas pada nasabah yang tidak memerlukan dana cepat.

“Jadi, hanya nasabah yang tidak memerlukan dana di atas 3 tahun tersebut yang bisa memanfaatkannya, kecuali mereka investasi di SBN/ORI yang sangat likuid,” ujarnya.

Sejalan dengan Iman, Direktur Kepatuhan Bank Mayapada Rudi Mulyono menilai positif rencana pemerintah terhadap penurunan pajak obligasi. Ia berpendapat, langkah ini justru dapat mendorong terciptanya instrumen investasi dalam negeri yang lebih bervariasi.

“Karakteristik obligasi berbeda dengan produk simpanan dalam bentuk rekening giro, tabungan dan deposito. Salah satunya, dari segi jangka waktu,” kata Rudi kepada CNBC Indonesia.

Sementara itu, Direktur Utama Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja juga berpendapat rencana pemerintah menurunkan pajak obligasi sebenarnya tidak dilihat sebagai ancaman. Ia mengatakan, wacana ini justru akan mampu mengurangi ketergantungan investasi terhadap perbankan, terutama dalam jangka panjang.

“Upaya tersebut rasanya baik untuk meningkatkan upaya pendalaman pasar modal. Saat ini, peran pasar modal harus ditingkatkan sehingga ketergantungan ke perbankan pun bisa dikurangi,” kata Parwati kepada CNBC Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Bidang Pengkajian & Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengungkapkan jika wacana penurunan pajak obligasi direalisasikan di Indonesia, dikhawatirkan akan terjadi perebutan dana antara pemerintah dan perbankan dalam menggaet dana dari investor.

“Kalau nanti menjadi 10% atau 5% pajaknya, maka yield (imbal hasil) akan lebih tinggi lagi kan. Sekarang saja LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) belum menaikkan suku bunga acuan, berarti akan terjadi jarak yang cukup tinggi antara pemerintah dan perbankan,” kata Aviliani ketika berbincang dengan CNBC Indonesia TV dalam acara Closing Bell, beberapa waktu lalu.

Di samping itu, Aviliani juga menambahkan sudah mulai ada fenomena penarikan dana dari deposito perbankan ke obligasi pemerintah yang dianggap memiliki bunga lebih tinggi. Ia menilai hal tersebut akan menambah tekanan likuiditas perbankan yang saat ini sudah memiliki LDR (Loan to Deposit Ratio) 94%.

September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menggulirkan wacana untuk menurunkan tarif PPh bunga obligasi demi menarik minat investor di dalam negeri.

Aturan mengenai PPh bunga obligasi tercantum di dalam PP No.100/2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Bunga Obligasi.

Di dalam beleid tersebut, ketetapan bunga untuk Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan Badan Usaha Tetap (BUT) sebesar 15%. Sementara pajak deposito yang dimiliki perbankan adalah sebesar 20%.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only