Jelang Pertemuan OPEC dan G20, Harga Minyak Merangkak Naik

Jakarta. Pada perdagangan hari ini Rabu (28/11/2018) hingga pukul 09.58 WIB, harga minyak jenis brent kontrak Januari 2019 naik 0,63% ke level US$ 60,59/barel. Di waktu yang sama, harga minyak jenis light sweet kontrak Januari 2019 menguat 0,68% ke level US$ 51,91/barel.

Harga minyak mampu merangkak naikpasca kemarin terkoreksi tipis. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (28/11/2018), harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) terkoreksi  0,14%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa melemah 0,45%.

Pelemahan kemarin memberikan indikasi bahwa pasar minyak global masih belum stabil, pasca jatuh amat dalam di akhir pekan lalu. Pada peristiwa yang banyak disebut pelaku pasar sebagai “Black Friday” bagi harga minyak itu, harga light sweet amblas nyaris 8% dan harga brent ambrol 6% lebih.

Secara fundamental, masih ada faktor besar yang menjadi pemberat harga sang emas hitam. Pasokan cenderung membanjir, sementara permintaan justru loyo.

Meski demikian, pelaku pasar kini nampaknya lebih optimis menanti hasil pertemuan tahunan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 6 Desember mendatang. Ada harapan produksi minyak mentah global akan dipangkas, sehingga menopang harga si emas hitam hari ini.

Kemarin, harga minyak memang mendapat tekanan dari melambungnya produksi minyak mentah Arab Saudi. Mengutip Reuters, produksi minyak Saudi pada November mencapai 11,1-11,3 juta barel/hari yang merupakan rekor tertinggi.

Sebelum Negeri Padang Pasir, produksi minyak mentah mingguan AS juga stabil di angka 11,7 juta barel/hari, yang merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Adidaya.

Dari Russia, produksi minyak mentah telah meningkat ke rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet, yakni ke level 11,41 juta barel/hari pada Oktober. Jumlah itu naik dari 11,36 juta barel/hari pada bulan September.

Kini tiga produsen minyak terbesar dunia itu sama-sama mencetak rekor produksi tertinggi. Jelas hal tersebut merupakan sinyal bahwa pasokan minyak mentah dunia memang sedang membanjir.

Di saat pasokan membanjir, permintaan malah diramal lemah akibat perlambatan ekonomi. Perang dagang AS vs China masih menjadi alasannya. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh.  Pertumbuhan ekonomi pun menjadi taruhannya.

Dalam proyeksi terbarunya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahkan menyatakan bahwa “pertumbuhan perdagangan kemungkinan besar akan melambat lebih jauh pada kuartal IV-2018, dengan tingkat pertumbuhan terlambat sejak Oktober 2016.”

Saat ekonomi global melambat, maka permintaan energi juga akan berkurang. Kala permintaan menurun tapi pasokan membanjir, jelas kondisi pasar akan mengalami oversupply. Tak pelak, kondisi ini memberikan tekanan bagi harga minyak kemarin.

Harga Minyak Kini Tergantung 2 Peristiwa Penting Yang Akan Terjadi

Melihat ke depan, pergerakan harga minyak akan sangat tergantung pada hasil 2 pertemuan penting yang akan terjadi. Pertama, pertemuan G20 di Buenos Aires pada 30 November dan 1 Desember. Pada pertemuan tersebut, Washington dan Beijing diharapkan akan membicarakan konflik dagang yang terjadi di antara mereka.

Apabila diskusi tersebut berbuah hasil yang positif, maka permintaan minyak diharapkan dapat kembali sehat. Akan tetapi, bila hasilnya negatif, ekspektasi pulihnya permintaan nampaknya hanya akan menjadi angan belaka.

Perkembangan teranyar, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence ‘Larry’ Kudlow menyatakan bahwa optimisme merebak jelang pertemuan Trump-Xi di Argentina. Ada kemungkinan Washington dan Beijing akan mencapai kesepakatan yang signifikan.

“Ada kemungkinan yang cukup besar kami akan mencapai kesepakatan. Beliau (Trump) terbuka untuk itu,” kata Kudlow, mengutip Reuters.

Pernyataan Kudlow melegakan pelaku pasar. Masih ada harapan Trump melunak dan bisa sepaham dengan China untuk mengakhiri perang dagang. Hal ini menjadi sentimen positif bagi harga minyak pada hari ini.

Kedua, pertemuan tahunan OPEC di Austria pada 6 Desember. Organisasi kartel minyak tersebut akan membahas kebijakan produksinya bersama mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia).

Sebelumnya, pada pertemuan tersebut OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan berencana mengurangi produksi dalam rentang 1-1,4 juta barel, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan ini, seperti dikutip dari Reuters.

Nampaknya OPEC mulai gelisah terhadap kondisi pasar yang kelebihan pasokan, dan akan melakukan intervensi untuk menstabilkan pasar. Hal ini bisa dipandang pelaku pasar sebagai “juru selamat” yang mampu mengangkat harga minyak dari jurang keterpurukan. Sentimen ini pulalah yang nampaknya juga menjadi penyokong harga minyak pada pagi ini.

Akan tetapi, tidak sedikit pula pelaku pasar yang nampaknya masih meragukan aksi OPEC ini. Risiko terbesar datang dari kemesraan AS dengan Saudi (yang secara de facto merupakan pemimpin OPEC).

Beberapa waktu lalu, Presiden AS Donald Trump bahkan memuji Saudi terkait harga minyak terkini, dan bahkan meminta harga minyak dapat lebih rendah lagi.

“Harga minyak semakin rendah. Bagus! Seperti pemangkasan pajak yang besar untuk Amerika dan Dunia. Selamat menikmati! US$ 54, baru saja US$ 82. Terima kasih Arab Saudi, tapi mari bergerak lebih rendah lagi!”

Sentimen ini lantas memunculkan indikasi bahwa AS akan kembali mengintervensi OPEC/Arab Saudi terkait kebijakan pemangkasan produksi. Bisa jadi, OPEC akhirnya mengurungkan niatnya untuk mestabilkan pasar minyak global.

“Jika OPEC dan Rusia tidak dapat mengirimkan pesan (pemangkasan produksi) yang amat kuat pada pasar, harga berisiko jatuh lebih jauh. Mungkin Brent (mencapai) US$ 50/barel dan lighsweet/WTI US$ 40/barel, atau bahkan lebih parah lagi,” ucap kepala konsultan FGE Fereidun Fesharaki, seperti dikutip dari Reuters.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only