Langkah Pemerintah di Balik Menguatnya Rupiah

Nila tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) mulai menguat dan berbalik arah ke level Rp 14.600 hingga pertengahan bulan November tahun ini setelah menyentuh dan melewati level Rp 15.000 di akhir bulan Oktober kemarin. Jika mengingat kembali bulan-bulan sebelumnnya, kita sadar betapa cepat tren pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS ketika menembus level 14.000 setelah sebelumnya bertahan lumayan lama di level Rp 13.500.

Dan seperti yang kita tahu, Bank Indonesia (BI) sudah berupaya untuk menahan pelemahan Rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing sehingga cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan dari posisi Januari 2018 yaki 132 miliar Dolar AS menjadi 115 miliar Dolar AS per akhir September 2018. Selain intervensi langsung, BI juga memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebesar 175 bps sepanjang tahun 2018 ini.

Demi menstabilkan Rupiah, Bank Indonesia bahkan menerbitkan kebijakan terkait DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward). DNDF diharapkan dapat menjadi instrumen lindung nilai atas risiko nilai tukar bagi pelaku pasar, eksportir, importir, dan investor asing yang memiliki aset dalam bentuk Rupiah.

Tujuan penerbitan kebijakan DNDF antara lain selain sebagai upaya lindung nilai, serta untuk meminimalisir dampak transaksi NDF di luar negeri yang selama ini mempengaruhi pergerakan pasar spot Rupiah. Dari sisi pemerintah, kita juga menyoroti langkah-langkah yang telah diambil pemerintah selama periode pelemahan Rupiah tersebut.

Melebarnya defisit transaksi berjalan tahun ini sejalan dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Hal ini disebabkan defisit neraca perdagangan, diantaranya berasal dari peningkatan defisit neraca perdagangan migas yang sejalan dengan kenaikan harga minyak global.

Untuk mengurangi ketergantungan impor minyak bumi, pemerintah mengeluarkan peraturan biodisel B20 (B20), yakni bahan bakar biodisel campuran minyak nabati 20% dan minyak bumi 80%. Peraturan ini resmi diberlakukan pada 1 September 2018 lalu dan diwajibkan bagi semua Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU).

Berikutnya, strategi Pemerintah untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan adalah melalui penyesuaian tarif PPh Pasal 22 bagi komoditas barang impor terutama yang dikategorikan dapat diproduksi di dalam negeri. Jenis barang yang termasuk dalam penyesuaian tarif pajak impor ini diketahui jumlahnya mencapai 1.147 jenis.

Untuk 210 jenis kategori barang mewah, tarifnya dinaikkan dari 7,5 persen ke 10 persen. Sementara 218 jenis kategori barang yang dapat diproduksi dalam negeri, tarifnya dinaikkan dari 2,5 persen menjadi 10 persen. Dan sebanyak 719 jenis kategori barang untuk bahan produksi, tarifnya 2,5 persen menjadi 7,5 persen.

Pemerintah juga menetapkan peraturan Domestic Market Obligaton (DMO) di sektor batubara. Peraturan ini mewajibkan pengusaha batubara menjual 25 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara dari sisi pengusaha, kebijakan ini kurang menguntungkan karena harga penjualan DMO ditetapkan makimal 70 Dolar AS per metrik ton, jauh di bawah harga global yang telah menyentuh 100 Dolar AS.

Seiring melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, pemerintah perlu meningkatkan kinerja ekspor, sehingga peraturan DMO tersebur dibatalkan. Namun tidak lama setelahnya, pemerintah kembali menetapkan peraturan DMO, setelah pernyataan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mengutamakan kebutuhan batubara dalam negeri. Agar kinerja ekspor dari batubara tetap dapat meningkat, peraturan DMO yang ditetapkan kembali juga diikuti dengan kebijakan penambahan kuota ekspor batubara maksimal 100 juta ton dari total 485 juta ton targer produksi nasional.

 

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only