Masyarakat Sipil Indonesia Sampaikan Sejumlah Desakan untuk Negara-negara G20

JAKARTA – Negara-negara yang tergabung dalam The group of twenty (G-20) yang merupakan kontributor hampir 90 persen PDB dunia, 80 persen total perdagangan dunia serta dua per tiga penduduk dunia ini, akan kembali mengadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun ini yang diselenggarakan pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2018 di Argentina.

Presidensi Argentina setidaknya membawa tiga isu utama, yakni isu infrastruktur, masa depan kerja di arena digital (future of work) serta isu ketahanan pangan. Selain ketiga isu tersebut, isu lain seperti kerja sama perpajakan dan keuangan global, perdagangan, ketimpangan dan pembangunan berkelanjutan, transisi energi, perempuan, perubahan iklim, anti-korupsi dan beberapa isu lainnya yang telah menjadi work stream di G20 tetap menjadi pembahasan pada putaran-putaran menjelang KTT Argentina akhir pekan ini.

Kelompok Organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung di dalam Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri Indonesia (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy–ICFP) menyampaikan beberapa desakan secara spesifik kepada Pemerintah Republik Indonesia dan negara-negara G20.

Desakan masyarakat sipil tersebut antara lain berkaitan dengan komitmen dan kerja sama negara-negara G20 dalam mengatasi ketimpangan, penyehatan finansial dan reformasi perpajakan, pencegahan korupsi dan penghindaran pajak, serta komitmen transisi energi dan penanganan perubahan iklim.

Publish What You Pay Indonesia menyoroti komitmen negara-negara G20 khususnya terkait ransparansi, anti-korupsi dan kerja sama perpajakan dan penyehatan fiskal. Koordinator nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, mendesak agar negara-negara G20 serius dalam menindak dan mencegah praktik aliran uang ilegal yang berasal dari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, pencucian uang dan tindakan kriminal lainnya dengan membentuk mekanisme pengawasan yang tepat.

“Terutama bagi negara-negara yang memiliki sumber daya alam dan cadangan yang kaya sebagai sumber perekonomian dan pembangunan. Lebih lanjut, Indonesia perlu mendorong percepatan implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) agar dapat berjalan secara baik dan efektif, apalagi kerangka pelaksanaan AEoI di level nasional sudah masuk dalam strategi nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang baru baru ini ditetapkan,” kata dia.

Maryati juga meminta agar Presiden Joko Widodo harus mendesak negara-negara G20 yang belum memiliki komitmen dan regulasi mengenai pembukaan beneficial ownership (BO) agar segera mensahkan, dan bagi negara-negara yang sudah memiliki peraturan soal BO agar segera menyusun strategi implementasi Bersama untuk memastikan agar perusahaan-perusahaan tidak lagi mengambil keuntungan dari tertutupnya data BO, sehingga praktek-praktek pencucian uang, pendanaan teorisme, penghindaran pajak dan korupsi dapat dicegah secara massif.

“Indonesia dan negara-negara G20 juga harus mendesak dan mengawal perusahaan multinasional terkait implementasi transparansi keuangan dan country-by-country reporting yang dapat diakses antar negara, termasuk kerja sama dalam penanganan BEPS (Base Erosion Profit Shifting) untuk meningkatkan penerimaan negara. Bagaimanapun, pembiayaan pembangunan dan penanggulangan ketimpangan sangat ditentukan bagaimana penanganan fiskal di masing-masing negara anggota yang juga membutuhkan kerja sama global,” Lanjut Maryati.

Sumber: suaramerdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only