Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kepatuhan pajak di sektor Sumber Daya Alam (SDA) khususnya sektor ekstraktif masih rendah. Perusahaan yang bergerak di sektor ekstraktif merupakan perusahaan yang menggali, mengambil, dan mengolah hasil alam secara langsung.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan kesimpulan tersebut berdasarkan pada hasil Focus Grup Discussion (FGD) terkait permasalahan dan penyebab korupsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Informasi tersebut disampaikan Laode dalam peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di DJP, Kamis (6/12).
“Kepatuhan wajib pajak terutama sektor tertentu, esktraktif industri, yang didapat Ditjen Pajak masih sangat kurang,” ujar Laode, Kamis (6/12).
Laode melanjutkan KPK pernah melakukan studi pada 2014. Ia terlibat dalam penelitian tersebut walaupun belum aktif menjabat di komisi anti rasuah tersebut.
Ia mengungkapkan hasil studi menunjukkan banyak potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan yang belum masuk ke kantong negara. Penyebabnya, lanjut Laode, ada perusahaan tambang yang beroperasi tanpa izin usaha yang jelas.
Adapula perusahaan tambang yang memiliki izin resmi namun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu, ada perusahaan tambang yang kerap berbuat curang.
Laporan hasil tambang bulanan maupun tahunan perusahaan tersebut sering tidak sesuai dengan realisasi di lapangan. “Bahkan ketika ekspor itu catatan yang ada di pelabuhan Indonesia dengan catatan pelabuhan di luar negeri beda jumlahnya, lebih banyak yang ada di pelabuhan luar negeri. Itu berarti bayaran kepada pemerintah itu masih sedikit. Ini agak menakutkan,” kata Laode.
Atas temuan dalam studi itu, KPK merekomendasikan bagi DJP untuk meningkatkan kehandalan basis data wajib pajak dan data eksternal lainnya yang dibutuhkan DJP guna meningkatkan mekanisme dan kerjasama antar instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan data.
KPK juga menyarankan DJP menyempurnakan aturan dan pedoman untuk menjunjung pelaksanaan fungsi DJP dan memperkuat fungsi analisis dan pengawasan pajak. Selain rendahnya kepatuhan pajak di sektor esktraktif itu, Laode memaparkan permasalahan lainnya di DJP.
Masalah tersebut antara lain; lemahnya manajemen restitusi pajak, lemahnya penegakan hukum pajak, diskresi otoritas pajak yang luas, kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM), etika, dan integritas petugas pajak, sistem yang masih belum optimal, dan belum ada sinkronisasi data dengan stakeholder atau institusi terkait.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menuturkan kontribusi sektor pertambangan ke penerimaan pajak sebesar 7 persen. Robert bilang penerimaan pajak dari sektor pertambangan telah menyesuaikan data kewajiban setoran pajak baik dari Kementerian/Lembaga (K/L) terkait maupun perusahaan sendiri.
“Sebab, DJP bekerja dari bukti tidak boleh menetapkan, karena penetapan pajak byperusahaan jadi tidak bisa menggunakan analisis,” ujar Robert.
Kendati demikian, DJP menerima masukan dari hasil studi KPK terkait selisih antara potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dengan realisasinya.”Kami kerja sama terus dan kami harus hati-hati dalam memastikan ketika menetapkan oleh perusahaan itu harus ada bukti yang komplit supaya ketetapan hukumnya kuat,” jelas Robert.
Sumber : cnnindonesia.com
Leave a Reply