Jakarta – Likuiditas perbankan diperkirakan kian mengetat pada 2019 setelah masa penguncian (lock-up) dana repatriasi amnesti pajak di perbankan dalam negeri usai pada pertengahan 2019.
Ekonom PT. Bank Danamon Tbk wisnu Wardana, prediksi pengetatan tersebut menjadi salah satu fokus dari berbagai risiko yang perlu diantisipasi Bank Indonesia dan pemerintah pada 2019.”Pertengahan 2019, periode ‘lock up’ dana repatriasi amnesti pajak sudah habis. Jadi ada banyak tantangan terutama terkait likuiditas,” ujar Wisnu dalam kajiannya yang disampaikan kepada pers di Jakarta, Kamis (6/12).
Wisnu mengaku mendengar BI dan OJK sedang menyiapkan instrumen penampungan dana amnesti pajak setelah periode “lock up” usai. Hal itu ditujukan agar tidak terjadi dana keluar yang bisa memperketat likuiditas perbankan. Instrumen tersebut, kata Wisnu, perlu segera dikeluarkan agar pemilik dana repatriasi dapat melakukan penyesuaian untuk menyimpan dananya tetap di dalam negeri.”Perlu juga ada insentif untuk ‘allowance’, agar mereka mau menyimpan dana itu di dalam ya,” ujar Wisnu.
Selain itu, kata Wisnu, tantangan terhadap kondisi likuiditas perbankan juga timbul karena Kementerian Keuangan berkomitmen untuk lebih banyak menerbitkan obiligasi ritel. Karakteristik surat utang untuk segmen ritel tersebut ternyata sangat digemari oleh investor pemula dari kalangan milenial, terbukti dengan penawaran obligasi ritel yang laku keras pada tahun ini dengan mayoritas investor dari kalangan anak muda.”Tapi buat di perbankan, jadi ada tantangan juga ya, karena dana untuk beli obligasi itu kan biasanya dari deposito perbankan juga,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Pada 2019, Wisnu memperkirakan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya tumbuh delapan persen (yoy), atau lebih lambat dari prognosa 2018 yang sebesar 8,2 persen (yoy). Likudiitas memang menjadi fokus risiko bagi industri perbankan saat ini.
Kredit yang masih tumbuh lebih tinggi daripada Dana Pihak Ketiga membuat rasio kredit terhadap DPK (Loan to Deposit Ratio/LDR) mencapai 94 persen pada akhir kuartal III 2018, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Adapun, dalam program amensti pajak pada Juli 2016, bank bertindak sebagai pintu masuk (gateway) yang menerima dana repatriasi wajib pajak (WP). Dana repatriasi amnesti pajak yang masuk ke sistem perbankan akan berada dalam periode “lock up” dengan jangka waktu tiga tahun.
Instrumen Penampung
Kemudian Wisnu meminta Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan segera mengantisipasi potensi dana keluar setelah berakhirnya masa penguncian dana (lock up) repatriasi amnesti pajak pada pertengahan 2019. Kedua regulator tersebut disarankan menerbitkan instrumen baru untuk penampungan dana amnesti pajak jika tidak ingin terjadi dana keluar yang bisa semakin memperketat likuiditas perbankan.”BI dan OJK akan kerja sama untuk menerbitkan instrumen yang atraktif untuk menanggulangi pemindahan dana,” kata Wisnu.
Wisnu mengaku mendengar BI dan OJK sedang menyiapkan instrumen tersebut. Menurut dia, instrumen tersebut perlu segera dikeluarkan agar pemilik dana repatriasi dapat menyesuaikan dengan cukup waktu untuk memindahkan dananya.
Dana repatriasi yang masuk pada periode amnesti pajak di 2016 terjadi di kuartal III atau periode Agustus-Oktober. BI dan OJK disarankan dapat menerbitkan instrumen itu sebelum kuartal III 2019. Instrumen tersebut juga perlu ditawarkan dengan imbal hasil yang tinggi mengingat saat ini negara-negara “peers” atau negara dengan kapasitas ekonomi setara dengan Indonesia juga cenderung untuk terus menaikkan suku bunga.”Perlu juga ada insentif untuk ‘allowance’, agar mereka mau menyimpan dana itu di dalam ya,” ujar Wisnu.
Instrumen penampung dana tersebut perlu disiapkan dengan memperhatikan risiko kurs karena dana repatriasi masih banyak yang disimpan dalam bentuk dolar AS. Menurut Wisnu, jika instrumen ini tidak berhasil menarik dana repatriasi, maka perbankan akan semakin mengalami pengetatan likuiditas pada 2019 yang berujung pada terhambatnya akeselerasi penyaluran kredit.
Sumber: neraca.co.id
Leave a Reply