Revisi PPnBM Gerus Penerimaan Fiskal

Penghapusan pajak barang mewah dikhawatirkan akan menghilangkan potensi penerimaan negara di tengah pemerintah membutuhkan pendapatan besar untuk mengatasi gap pembiayaan pembangunan.

Jakarta – Usulan pemerintah menghapus pajak sejumah barang mewah menuai protes sejumah pihak. Selain mengurangi pendapatan negara dari pajak, penghapusan tersebut dinilai mencederai keadilan masyarakat.

Pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mewacanakan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPn- BM) untuk apartemen, pesawat, kapal pesiar, dan yacht (kapal pesiar). Dia beralasan penghapusan PPnBM, seperti yacht, bisa mendatangkan potensi devisa sebesar enam triliun rupiah.

Dia mengungkapkan penerimaan pajak dari yacht saat ini di bawah 10 miliar rupiah karena dalam Peraturan Pemerintah nomor 145 tahun 2000, yacht dikenai pajak 75 persen dari besaran harganya. Karena itu dia meyakini, dengan tidak masuknya yacht sebagai barang mewah, maka akan semakin banyak kapal masuk ke Indonesia.

Sebab kata dia, pendapatan yacht saat ini kecil bila dibandingkan dengan potensi yang didapatkan dari usaha perbaikan kapal, dermaga tempat parkir yacht serta usaha lainnya di bidang pariwisata. Namun, Pengamat ekonomi Abdul Halim menilai penerapan pajak barang mewah masih diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara sehingga jangan sampai ada pengurangan terhadap pajak jenis tersebut.

“Pendapatan negara semestinya berasal dari pemakaian barang mewah,” kata Abdul Halim di Jakarta, beberapa waktu lalu. Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Pusat Maritim untuk Kemanusiaan itu menyatakan, pertanyaan lanjutannya dari rencana tersebut, adalah dari mana target pemasukan pajak bisa dicapai bila pajak mewah dihapuskan.

Dia menegaskan agar pemerintah jangan sampai meningkatkan pajak dengan menggenjot pemasukan dari sektor lain yang berkaitan dengan hajat hidup orang miskin. “Misalnya menaikkan tarif dasar listrik, STNK, dan administrasi perikanan,” paparnya. Menurut dia, masih ada jenis perizinan yang membutuhkan biaya yang relatif tinggi untuk mengurusnya, padahal hal tersebut dinilai sangat diperlukan untuk pendapatan seharihari bagi orang banyak.

Tidak Populis

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sulawesi Selatan, Yusran Sofyan menilai kebijakan tersebut tidak populis karena hanya menguntungkan masyarakat kalangan atas saja.

Sebaliknya, kebijakan itu tidak berdampak bagi masyarakat kalangan bawah. Menurut dia, pemerintah sebaiknya memberikan kemudahan bagi masyarakat menegah ke bawah dengan mengeluarkan kebijakan yang bersentuhan dan dirasakan langsung masyarakat bukan malah memberi kemudahan kalangan orang kaya.

Selain itu, klasifikasi orang yang memiliki barang mewah sangat sedikit dibandingkan presentase orang-orang menengah yang hanya mengantungkan hidup dari pekerjaan mereka. “Seharusnya itu ada subdisi silang atau memberikan subsidi masyarakat menengah ke bawah. Pajak itu kan salah satu pemasukan negara, nah kalau itu dihapus tentu pendapatan negara berkurang,” ujar politisi Gerindra ini.

Sebelumnya, Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah tidak terganggu dengan wacana revisi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) khususnya untuk barang properti.

“Memang ada wacana perubahan batas minimum yang dikenakan, yaitu dari 20 miliar rupiah menjadi 35 miliar rupiah tetapi ini tidak berpengaruh terhadap kami,” kata Ketua REI Jawa Tengah MR Prijanto di Solo, beberapa waktu lalu.

Sumber : koran-jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only