JAKARTA. Rencana penurunan pungutan ekspor pada produk minyak kelapa sawit (CPO) diperkirakan baru memberi dampak perbaikan harga pada komoditas ini di Januari 2019. Kebijakan Pemerintah tersebut juga diakui mampu membuat stok CPO habis dan menaikkan harga CPO kembali.
Kepala Riset Narada Kapital Indonesia, Kiswoyo Adi Joe menilai bahwa harga CPO kini berada dalam level rendah sementara permintaan belum juga tinggi. Dengan kondisi tersebut, industri yang mengekspor CPO dikenakan pungutan, akan terpukul.
“Pungutan ekspor CPO dan turunannya menjadi US$ 0 per ton dari US$ 50 per ton bisa membuat stok CPO habis dan harga kembali naik. Jadi akan beban kalau tidak jadi nol,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (9/12).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan aturan relaksasi pungutan hasil ekspor kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Aturan tersebut tercantum dalam PMK Nomor 152/ PMK 05/2018.
Dalam aturan tersebut tertulis pungutan hasil CPO tidak berlaku atau dinolkan bila harga tandan buah segar (TBS) mencapai US$ 570 per ton dan berlaku mulai 4 Desember 2018. “Akan lebih baik kebijakan aturan diterapkan sampai harga CPO bisa kembali bangkit. Dan emiten CPO bisa meningkatkan pendapatan dari ekspor CPO,” ungkap Kiswoyo.
Untuk itu, Kiswoyo menyarankan membeli saham AALI dan LSIP dengan harga Rp 16.000 dan Rp 1.800 per saham.
Diakui Kiswoyo, dengan kebijakan tersebut, emiten seperti AALI dan LSIP mampu mendongkrak kinerja dari kebijakan pungutan ekspor yang tak berlaku. Sekedar informasi saja, Saat ini, AALI memang memasarkan CPO-nya ke beberapa negara seperti India, China, Korea, dan juga Pakistan. Dari keempat negara ini, ekspor terbesar AALI adalah ke India dan China. Sementara semester pertama tahun 2018, LSIP mencatat kenaikan produksi tandan buah segar (TBS) inti sebesar 8,7% secara year on year menjadi 636.539 ton. Produksi CPO meningkat 3,5% menjadi 186.812 ton.
Sumber : kontan.co.id
Leave a Reply