Pegawai Pajak Digaji Tinggi Tapi Masih Korupsi, Ini Penyebabnya

Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Harry Gumelar mengatakan, aparatur pajak atau fiskus digaji tinggi agar tak tergiur untuk melakukan korupsi.

Namun, pada kenyataannya, masih ada oknum aparatur pajak yang menerima sogokan hingga memeras wajib pajak. Menurut Harry, kesalahan bisa berasal dari aparatur pajak itu sendiri maupun wajib pajak.

“Ketika butuh uang cepat, wajib pajak main-main, terjadilah korupsi. Kalau wajib pajak lemah posisinya, tidak paham, jadi celah korupsi,” ujar Harry di Cisarua, Bogor, Selasa (11/12/2018).

Harry mengatakan, wajib pajak harus memahami betul aturan perpajakan. Jika laporan pajaknya terjadi selisih dan yakin bahwa dirinya tak salah, maka wajib pajak akan memperjuangkannya melalui jalur yang benar. Dengan demikian, tak ada celah bagi fiskus untuk memeras wajib pajak untuk menyesuaikan selisih tersebut.

Harry mengakan, kesadaran tersebut yang seharusnya ada di setiap wajib pajak. Oknum fiskus yang melihat wajib pajak yang bingung soal angka atau bermasalah dengan Pajak Pertambahan Nilai, akan memanfaatkannya sebagai celah untuk memeras. Menurut dia, laporan yang bermasalah bisa jadi karena ketidakpatuhan wajib pajak.

“Kalau mau cepat PPN diberikan, jadilah wajib pajak yang patuh. Dua minggu saja bisa keluar,” kata Harry.

Harry mengatakan, korupsi atau suap terjadi jika antara kedua pihak, baik wajib pajak maupun fiskus terjadi kesepakatan. Jika salah satu pihak tak menghendaki maka tak akan terjadi. Begitu wajib pajak lemah, fiskus di posisi yang kuat, potensi terjadi tindak pidana pun muncul.

Di sisi lain, ada kasus di mana wajib pajaknya yang salah, namun bersikap dominan. Ia memiliki posisi untuk bernegosiasi dengan wajib pajak yang lemah dan menyuapnya agar laporan pajaknya diperbaiki.

“Banyak sebenarnya yang dilakukan pegawainya sendiri, kerjasama dengan orang lain. Tapi casenya karena ketidakpemahaman wajib pajak terhadap perpajakan. Itu yang harus kita perbaiki,” kata Harry.

Sumber: ekonomi.kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only