Harga komoditas utama berpotensi naik tahun ini. Hanya saja, kenaikan harga komoditas masih terbatas oleh lesunya permintaan.
Tren harga komositas sepanjang tahun ini terlihat lesu. Harga komoditas utama seperti emas, minyak bumi, minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) kompak mencatat kinerja negatif di tahun 2018.
Kondisi ekonomi global tahun lalu memang belum mampu mendukung laju harga komoditas. Sebagian komoditas diperdagangkan menggunakan dollar AS. Sementara pergerakan the greenback cenderung menguat, didukung oleh prospek kenaikan suku bunga The Feed.
Pergerakan dollar AS yang terus naik membuat harga komoditas menjadi mahal. Hal ini berimbas pada turunnya angka permintaan. Ditambah lagi, permintaan komoditas dibeberapa negara juga lesu lantaran perlambatan ekonomi.
Jika permintaan turun, maka pasokan akhirnya meningkat dan membuat harga tergerus.
Mengutip Bloomberg, harga emas bertengger dilevel US$ 1.281,3 per ons troi pada akhir tahun 2018 atau turun 4,7% sepanjangtahun. Lalu harga minyak tergerus 21% ke level US$ 45,41 per barel pada 31 Desember 2018. Sementara harga CPO terkikis 16,9% di level RM 2.121 per metrik ton.
Bagaimana dengan prospek komoditas utama tahun ini? Simak ulasan para analis.
Emas
Harga emas tahun lalu memang kurang bersinar. Pamor logam mulia ini redup di tengah ekspetasi keniakan suku bunga The Fed. Sebab, emas sebagai asset non bunga memang kalah menarik ketika suku bunga akhirnya naik. “Meski ada beberapa faktor yang mendukung emas sebagai safe heaven, tapi karena ekspetasi Fed rate besar, pamor emas terus menurun,” tutur Alwi Asegaf, Analisis Global Kapital Investama Berjangka.
Meski demikian, untuk tahun ini Alwi memperkirakan prospek emas akan lebih baik. Emas akan menjadi pilihan save heaven alias asset aman. Apalagi, ekspetasi kenaikan suku bunga The Fed juga mulai mengendur.
Sebagai safe heaven, emas akan dicari ketikaada ke kahwatiran global. Terbaru, data manufaktur China bulan Desember 2018 mengalami kontraksi di level 49,4.
Lalu, perang dagang juga berpengaruh ke harga emas. Hingga saat ini, belum ada kesepakatan antara Amerika Serikat dan China mengenai tarif impor. Ke kahwatiran perang dagang bisa menopang emas karena memicu permintaan safe heaven. “Memang perangdagang menguatkan dollar AS, tetapi mungkin investor akan menghindari dollar AS setelah ekspetasi kenaikan suku bunga The Fed berkurang,” lanjut Alwi.
Ditambah lagi dengan ke tidak pastian Brexit atau proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa.Jika pilihan dollar AS sebagai safe heaven dihindari, pilihan investor tinggal hanya emas dan mata uang yen.
Ditengah pelemahan harga sepanjang tahun lalu, Alwi menilai harga emas saat ini lebih menarik untuk bargain hunting. Alwi memperkirakan pergerakan emas tahun ini akan berada di kisaran US$ 1.250-US$ 1.483 per ons troi.
Sebaliknya, Wahyu Tribowo Laksono Analisis Central Capital Futures memperkirakan nasib emas tahun ini tidak akan berbada jauh dari 2018. Sebab, penguatan mata uang dollar AS masih menjadi ancaman.
Gaya kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump menurut Wahyu masih akan memberikan dampak ke pasar, termasuk The Fed dan mitra dagangnya. Trump meminta beberapa kali kepada The Fed untuk tidak membuat nilai tukar dollar AS naik. Trump juga berusaha menekan ekspor dari China dan Eropa demi memperbaiki defisit AS.
“Kebijakan Trump membuat harga emas menjadi stabil, tidak terlalu tinggi namun juga tidak terlalu rendah,” kata Wahyu memprediksi laju emas akan berada di kisaran US$1.160-US$1.375 per ons troi.
Minyak
Isu utama bagi komoditas secara umum adalah perlambatan ekonomi global. Isu ini juga membuat harga minyak sulit naik.
Research and analyst PT Monex Investindo Futures, Putu Agus Pransuamitra, mengatakan, perlambatan ekonomi global akan berdampak padaturunnya permintaan minyak mentah dunia. Untuk itu, harga akan tetap turun meski produsen minyak, baik yang tergabung dalam OPEC maupun Rusia memangkas produksinya. “Karena tetap ada potensi kelebihan supply,” tuturnya.
Untuk itu, prospek harga minyak tahun ini sebenarnya masih harus menanti kinerja ekonomi global di kuartal pertama 2019. Aktivitas manufaktur dari negara-negara maju maupun negara ekonomi besar seperti China perlu dicermati terlebih dahulu. Sebab, penggunaan minyak di sektor manufaktur cukup besar. Apalagi setelah manufaktur China mengalami kontraksi.
Dari sisi pasokan, pasar juga masih melihat adanya kelebihan. Pelaku pasar berharap OPEC bisa memangkas produksi hingga 1,6 juta barel per hari. Nyatanya, pemangkasan hanya sebesar 1,2 juta barel per hari. Di sisi lain, produksi minyak AS terus mengalami peningkatan.
“Sentimen positif untuk minyak saat ini belum ada. Data manufaktur belum bagus, sedangkan dollar AS juga masih cukup kuat,” lanjut Putu.
Menurut Wahyu, OPEC memang belum tegas soal kebijakan pemangkasan produksinya. Namun, rencana pemangkasan sebenarnya bisa menjadi amunisi untuk mendorong kenaikan harga minyak. Apalagi jika ditambah isu geo politik dan embargo ekonomi terhadap Iran yang membuat pasokan minyak dari negara tersebut menjadi terbatas. “Secara fundamental, harga minyak masih berpotensi rebound,” kata Wahyu.
Sedangkan ekonomi global, menurut Wahyu belum terbilang buruk meski mengalami perlambatan.
Putu melihat, volatilitas harga minyak tahun ini masih tinggi. Sejak kuartal keempat 2018, minyak turun lebih dari 40%. “Kalau ekonomi kurang bagus, harga minyak mungkin akan turun sedikit lebih dalam di kuartal pertama 2019,” ujarnya.
Sebaliknya, jika ekonomi global menunjukkan kejutan dengan peningkatan, maka harga minyak bisa menguat dengan signifikan. Prediksi Putu, pergerakan minyak tahun ini dikisaran US$ 36-US$ 65 per barel. Sementara Wahyu memperkirakan laju minyak sepanjang tahun 2019 akan berada pada rentang US$ 30-US$ 70 per barel
CPO
Kondisi cuaca sedang tidak mendukung untuk produksi CPO saat ini. Hal tersebut sebenarnya bisa berdampak pada turunnya produksi.
Tetapi di sisi lain, permintaan CPO global juga masih lesu. Tak heran jika harga CPO akhirnya sulit menanjak.
“Isu lingkungan di Eropa masih membebani harga CPO. Sedangkan China juga kurang menyerap permintaan lantaran masih banyaknya pasokan minyak nabati di negaraitu,” kata Wahyu.
Prospek permintaan CPO yang cukup suram ini bahkan membuat Malaysia sebagi salah satu produsen terbesar di dunia berniat meninjau ulang struktur bea keluar untukekspor CPO.
Wahyu menjelaskan, produsen CPO di Asia Tenggara telah menghadapi lesunya ekspor lantaran permintaan turun. Hal ini lantaran negara-negara importir tertekan oleh pelemahan mata uang serta tingginya pajak impor.
Lemahnya permintaan ini membuat cadangan CPO Malaysia mendekati angka tertinggi selama18 tahun. Sementara cadangan CPO di Indonesia sebagai produsen terbesar juga terus meningkat.
“Satu-satunya dasar harapan CPO untuk menguat adalah dari teknikal. Karena setiap komoditi memiliki lower level dan ada Batasan murahnya,” ujar Wahyu. Dengan demikian, peluang kenaikan harga masih ada meski hanya sementara.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim, menyebutkan, perang dagang sudah terlihat memberi dampak pada harga minyak nabati termasuk CPO. Akibat perang dagang, impor barang di berbagai negara terhambat. Makanya, data manufaktur akhirnya melambat. Perang dagang juga berdampak pada ekonomi China yang merupakan konsumen utama CPO.
Sejak tahun lalu, permintaan CPO Eropa turun akibat kampanye negatif. “Sampai saat ini kampanye hitam CPO masih menjadi masalah,” ungkapnya.
Sementara impor CPO India juga terus mengalami penurunan. Padahal, India merupakan salahsatu konsumen minyak nabati terbesar di Asia, selain China.
Ibrahim berharap, permintaan CPO bisa kembali pulih, setidaknya pada kuartal pertama tahun ini. Salah satu pendorongnya adalah kenaikan permintaan China menjelang perayaan Imlek.
Tahun ini, Ibrahim memperkirakan harga CPO bergerak di RM 2.100-RM 2.400 per metrik ton. Sedangkan prediksi Wahyu CPO akan bergerak pada kisaran RM 1.900-RM 2.500per metrik ton.
Sumber : Tabloid Kontan
Leave a Reply