Sri Mulyani Diminta Tunda Pajak E-Commerce Hingga Tahun Depan

Jakarta – Sejumlah pengusaha meminta pemerintah menunda rencana penerapan aturan perpajakan atas transaksi perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce, hingga adanya kajian yang komprehensif terkait dampak kebijakan tersebut.

Aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 210/PMK.03/2018 itu mengulas dua kewajiban baik dari sisi pajak yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN, maupun perlakuan kepabeanan bagi pelaku perdagangan daring. Secara spesifik, beleid ini hanya mengatur perlakuan perpajakan mengqtur perlakuan perpajakan transaksi perdagangan daring lewat platform marketplace, dan belum mengatur mengenai transaksi perdagangan daring yang dilakukan lewat media sosial.

Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (IdeA) Ignatius Untung memaparkan, mengkhawatirkan kebijakan ini akan menjadi entry barrier yang cukup serius sehingga banyak orang mengurungkan niatnya untuk berwirausaha. Padahal, platform ecommerce selama ini dikenal telah membuka peluang bagi masyarakat Indonesia untuk berwirausaha.

“E-commerce ini entry barrier­-nya rendah, mau coba-coba usaha oke, tidak perlu sewa toko/ Hal-hal seperti ini yang kita melihat ada risiko besar karena bisnis yang entry barrier-nya rendah mau diregulasi PMK 210 ini,” ujarnya, Senin, 14 Januari 2019.

Dia pun merujuk pada studi yang dilaksankana oleh idEA terhadap 1.765 pelaku UMKM di 18 kota di Indonesia, di mana mayoritas atau 80 persen di antaranya masih dalam kategori mikro, 15 persen kategori usaha kecil, dan hanya 5 persen yang masuk kategori usaha menengah. Dari total UMKM yang disurvey tersebut, UMKM yang telah berjualan di sosial media mencapai 95 persen sedangkan yang berjualan di marketplace dan media sosial mencapai 19 persen.

Dengan adanya kebijakan ini, dia pun menilai terdapat peluang pergeseran (shifting) pada pedagang elektronik dari marketplace ke media sosial. Padahal, media sosial tidak diciptakan untuk bertransaksi. Selain itu, media sosial itu juga belum diatur perpajakannya dalam PMK 210 tersebut.

Lebih lanjut, pihaknya pun tengah bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendata jumlah UMKM yang akan terdampak oleh kebijakan ini. Selain itu, membuat kajian yang komprehensif mengenai dampak perpajakan ini untuk disampaikan ke pemerintah.

“Kita meminta Kemenkeu untuk menunda dan mengkaji ulang keputusan PMK ini terutama bagian pajak, sampai ada studi yang menyeluruh. Kalau studinya menunjukkan tidak akan menyulitkan industri kami, pasti kami dukung,” ujarnya.

Senada, Ketua Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menilai kebijakan ini tidak sinkron dengan arahan Presiden Joko Widodo yang ingin meng-online-kan UMKM. Dia menyebut dari 56 juta pelaku UMKM, baru sekitar 6 juta yang telah go online.

“Akumindo melihat pemerintah sebaiknya menunda dulu kebijakan ini setidaknya setahun ke depan untuk memberikan kenyamanan terlebih dahulu buat pelaku UMKM untuk masuk ke dalam marketplace, baru diatur pajaknya. Ini belum nyaman, sudah langsung dikenakan pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menilai UMKM tidak menolak untuk membayar pajak. Hanya saja, dia melihat kontribusi penerimaan pajak dari UMKM sangat kecil terhadap keseluruhan penerimaan pajak karena UMKM bukanlah objek pajak yang utama.

Dia menegaskan, pelaku UMKM membutuhkan keberpihakan dari pemerintah dalam hal perpajakan. Hal tersebut diperlukan guna menumbuhkan minat kewirausahaan dalam masyarakat, sehingga target pertumbuhan wirausaha baru 5 persen pada tahun ini dapat tercapai. “Maka dari itu kebijakan ini baiknya ditunda dulu satu tahun ke depan untuk dievaluasi,” ujarnya.

Sumber : Tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only