Kala Pedagang Online Khawatir Dikenai Pajak

SEMARANG – Terjadi kekhawatiran akibat beda pemahaman di kalangan pelaku usaha terkait terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.210/PMK.010/2018 yang mengatur tentang pajak e-commerce. Beleid itu akan berlaku efektif mulai 1 April 2019 meski telah lama diwacanakan.

Menkeu Sri Mulyani menegaskan, isu perpajakan perdagangan elektronik telah menjadi bahasan internasional. Dikatakannya, pemerintah tidak mengenakan perpajakan baru. Yang diatur adalah tatalaksananya. Meski begitu, ia mengaku bahwa isu perpajakan selalu menjadi sensitif di Indonesia. Maka tak heran PMK tentang pengaturan pajak e-commerce menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Dijelaskannya, Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pemungut pajak selalu berupaya memungut pajak secara hati-hati. Ia juga menjanjikan tidak akan memungut pajak secara sembarangan. Kebijakan untuk mendorong perekonomian tidak akan menghambat laju pertumbuhan investasi di dalam negeri.

Dalam PMK no 210 itu diterangkan, pemerintah mewajibkan penyedia platform untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait dengan penyediaan layanan platform kepada pedagang dan penyedia jasa.
Selain itu, penyedia platform wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri; serta melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan pedagang pengguna platform.

Sebelum PMK itu diberlakukan, sejumlah pengusaha kecil menengah sudah khawatir bahwa penjualannya melalui e-commerce bakal terdampak. Mereka menduga produk yang dijual UMKM melalui platform marketplace bakal dikenai pajak. Yang pada ujung-ujungnya, harga produk akan dirasakan lebih mahal oleh konsumen.

Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik indonesia (Asperindo) Jawa Tengah, Tony Winarno, menuturkan pengiriman barang dari usaha segmen rumah tangga atau UMKM yang penjualannya melalui e-commerce di Jawa Tengah cukup banyak.

“Pelaku usaha e-commerce yang menjual produknya melalui media sosial termasuk UMKM, kami sebut social-commerce, itu perbandingannya fivety-fivety (50-50 persen) dengan pelaku bisnis e-commerce raksasa lain, seperti Lazada,” kata Tony kepada Tribun Jateng.

Total perhari ada sekitar 200 ribu item kiriman produk atau 200 ton yang berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dari jumlah itu, sekitar 100 ribu item merupakan produk dari social-commerce.

Dengan diterbitkannya PMK No 210 tentang pajak e-commerce, Tony belum bisa berbicara banyak tentang dampak yang akan ditimbulkan terhadap perusahaan pengiriman barang. “Ini kan belum diterapkan yah. Jadi, kami tidak bisa berkomentar nantinya di lapangan seperti apa. Jalanin saja dulu, jangan ngomong kekhawatiran dulu,” ucapnya.

Sejauh ini, Asperindo belum menghitung dampak lahirnya kebijakan ini terhadap industri jasa pengiriman. Meskipun demikian, ia menyambut positif Permenkeu itu. Pajak untuk e-commerce dikatakan sebagai win-win solution antara negara dan pelaku usaha.

Dengan begitu, negara mendapatkan pajak dari penjualan barang melalui online tersebut. Namun, kata dia, yang harus diperhatikan yakni pelaku usaha dari social-commerce.

“Social-commerce yang banyak mengirim barang itu rata-rata dari ibu-ibu atau emak-emak, dan adik-adik mahasiswa, itu yang harus diperhatikan. Jangan semua babat habis dipajak. Untuk pajak e-commerce yang besar, saya sangat setuju itu,” ujar Tony.

Ia memberikan contoh e-commerce raksasa semisal Lazada yang perhari mengirimkan barang sekitar 400 ribu item. Dari jumlah itu, kata dia, sudah semestinya membayar pajak ke pemerintah.

Data di Asperindo, usaha e-commerce yang mengirimkan barang paling banyak dari Jawa Tengah bagian selatan, yakni Solo Raya (Kota Solo, Sragen, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri).

Pengiriman dari wilayah itu mencapai 60 persen. Sedangkan 40 persennya dari wilayah utara dan daerah lain di Jateng. Tony mencontohkan Kabupaten Sragen yang berada di wilayah Solo Raya memiliki nilai transaksi atau pendapatan yang didapatkan dari jasa pengiriman barang dari e-commerce mencapai Rp 1 miliar perbulan.

“Sragen merupakan kota kecil, tapi pengiriman dari usaha e-commerce sangat besar. Belum lagi dari Klaten dan kota-kota lain,” ujarnya.

Ia berharap ada kebijakan turunan atau tambahan yang khusus memuat aturan e-commerce kecil atau social-commerce tersebut agar gairah kewirausahaan usaha rumahan itu tidak hilang. “Tarif tol dan kargo udara terjangkau juga harus diperhatikan pemerintah, agar bisnis e-commerce yang berdampak pada bisnis pengiriman barang tidak terbebani,” imbuhnya.

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only