Kepercayaan diri pemerintah dalam menggenjot penerimaan negara tengah berada dalam momentum terbaiknya. Tahun lalu, untuk pertama kalinya realisasi pendapatan negara melampaui target. Pendapatan negara 2018 terkumpul Rp.1.894,7 triliun.
Prestasi keuangan negara diatas tidak bisa dilepaskan dari serangkaian reformasi perpajakan yang telahdirintis sebelumnya. Titik tonggaknya adalah amnesty pajak. Progam ini membuka kesempatan bagi wajib pajak (WP) untuk mendeklarasikan harta dari luar negeri ke tanah air.
Pasca progam amnesty pajakberakhir, pemerintah bergegas mengesahkan Undang-Undang (UU) keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Beleid ini menjadi payinghukum bagi Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk langsung mengakses kerahasiaan data keuangan nasabah baik untuk asing maupun domestik.
Dalam pandangan pemerintah,dua modal fundamental tersebut sangat dibutuhkan sebagai prasyarat untuk memperkuat basis pajak. Jika struktur basis pajak sudah teridentifikasi, pemerintah tinggal mencari momentum yang tepat untuk mengamandemen UU tarifpajak penghasilan (PPh) Badan Usaha.
Sinyal ke arah itu sudah kentara. Sebelumnya, pemerintah sudah memotong PPh tarif PPh pengusaha mikro,kecil dan menengah (UMKM) dan PPh atas bunga hasil ekspor (DHE) yang disimpan dalam perbankan dalam negeri. Kemudian menyusul PPh atas bunga obligasi. Pemangkasan tarif PPh pengusaha UMKM terbukti menaikkan jumlah WP.
Menurut wancana yang berkembang, tarif PPh Badan Pasal 25/29 akan dipangkas dari posisi saat ini yang berlaku 25% menjadi 17%-20%. Upaya amandemen UU PPh Korporasi yangsejatinya sudah mengemuka sejak awal 2015 ini tetap menjadi fenomena yang menarik untuk dicermati.
Dalam perspektif ekonomi,penentuan tarif PPh Korporasi senantiasa menyodorkan dilema yang membenturkan tiga kepentingan yang berbada, yaitu pemerintah, produsen, dan konsumen. Dari sisi pemerintah, revisi tarif PPh Badan merupakan upaya untuk menggeber penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Penerimaan pajak selama beberapa tahun terakhir senentiasa lebih rendah dari target. Kemkeu mencatat shortfall (defisit) pajak pada 2018 saja mencapai Rp 108,1 triliun. Angka ini juga lebih lebar dibandingkan dengan proyeksi pemerintah.
Pada 2017, malah lebih parahlagi. Meski target penerimaan pajak telah diturunkan dari realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun seblumnya, toh shortfall penerimaan pajak masih saja terjadi. Alhasil, pemangkasan belanja dan hasil amnesty pajak tetap belum mampu meredam pembengkakan defisit. Intinya, pos penerimaan negara menjadi titik rapuh bangunan APBN.
Di sisi pengusaha, penurunan PPh Korporasi niscaya menekan biaya produksi. Konsumen akan diuntungkan dengan harga produk yang lebih murah. Dengan demikian, penurunan tarif PPh Korporasi berperan penting dalam mendorong daya saing dunia usaha guna memerangi praktik transfer pricing lintas negara.
Penurunan tarif PPh korporasi diklaim akan membuka lebar masuknya perusahaan asing untuk berdomisili diIndonesia. Akibat selanjutnya, kesempatan kerja akan tercipta dan proses alih teknologi akan terjadi. Lebih jauh lagi, pertumbuhan ekonomi akan semakin kuat sehingga hasilnya bisa terserap kembali dalam bentuk pajak.
Harus diakui, tarif PPh Korporasi di Indonesia masih tergolong mahal untuk Kawasan Asia Tenggara .Sebagai perbandingan, Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura menerapkan tarif PPh Korporasi masing-masing 30%,25%,22%,20%, dan 17%. Lagipula, laporan paling anyar Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat tren penurunan PPh korporasi di berbagai negaradalam kurun waktu hamper 2 dekade terakhir.
Argumen kepatuhan sering diajukan sebagai pendukung tambahan. Tarif pajak yang lebih rendah akan meningkatkan kepatuhan WP, sehingga mendongkrak volume penerimaan. Keyakinan ini masih bisa diperdebatkan. Banyak studi empiris menunjukkan tarif yang lebih rendah tidak serta merta diikuti dengan meningkatnya kepatuhan WP.
Per devinisi, PPh Korporasiter masuk kategori pajak langsung. Pembayaran pajak sekaligus adalah penanggung beban akhirnya. Artinya, beban pajak tersebut tidak bisa digeserkan kepada pihak ketiga. Oleh karena itu, efektivitas penurunan tarif PPh terhadap kenaikan penerimaan pajak tergantung pada renponsivitas WP.
Responsivitas WP mensyaratkan dua hal. Pertama adalah pemangkasan tarif PPh Korporasi harus dibarengi dengan kemudahan mendirikan badan usaha sebagai objek pajak. Faktanya, kemudahan berusaha di Indonesia masih rendah. Kendati indeks easy of doing business (EoDB) sudah meningkat, pembisnis masih menemui banyak kendala di lapangan.
Kedua, adalah penyempurnaan perangkat aturan berikut mekanisme penegakan hukum (law enforcement). Artinya, pemangkasan tarif PPh Korporasi menghendaki penegakan hukum yang konsisten. Hal ini mutlak diperlukan untuk mnimbulkan efek jera serta untuk mengapresiasi perusahaan yang patuh melaksanakan kewajibannya.
Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi, penurunan tarif PPh korporasi akan berefek bumerang. Perusahaan asing tidak jadi masuk, perusahaan asing dan domestik yang sudah eksis di tanah air cenderung merelokasi pabriknya ke luar negeri sehingga penerimaan negaraturun. Padahal, kontribusi PPh Korporasi mencapai persen dari total penerimaan PPh dalam APBN.
Dengan konfigurasi problematik di atas, amandemen UU PPh Korporasi memerlukan telah yang cermat atas semua aspek yang melingkupinya. Persoalan PPh badan bukan semata-mata soal besaran tarif, tetapi juga lingkungan strategis yang berkembang. Terkuaknya Panama Paper dan Paradise Paper memberikan pelajaran berharga.
Dalam skala yang lebih luas lagi, premis klise bahwa regulasi selalu ketinggalan dengan perkembangan jamanakan terpatah kan oleh kekomprehensifan UU PPh Korporasi. Alhasil, fenomena manipulasi pajak jika terjadi lagi di masa depan dengan berbagai macam modifikasinya bisa terantisipasi dengan elegan. Urgensinya penerimaan perpajakan mampu secara berkelanjutan menjadi soko guru pendanaan pembangunan. Bukan begitu, Kemkeu?
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply