Kemenkeu: Rasio Pajak Turun Jadi Bukti Kebocoran Anggaran, Pemikiran Keliru

Kementerian Keuangan memberi penjelasan terkait kebocoran anggaran negara dengan indikator penurunan rasio pajak (tax ratio) oleh timses Prabowo Subianto. Menurut Kemenkeu, pernyataan adanya bukti kebocoran anggaran negara dengan menunjuk pada penurunan tax ratio adalah keliru.

“Tax ratio bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/2).

Tax ratio adalah rasio/perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, efektivitas pemungutan pajak, berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat, dan kemungkinan terjadinya pidana pajak seperti penghindaran dan penggelapan pajak (tax evasions and avoidances).

Rasio pajak juga menggambarkan mengenai tingkat kepatuhan pajak yang dipengaruhi oleh pendidikan dan pemahaman pajak dari masyarakat serta budaya kepatuhan pajak termasuk sistem penegakan hukum.

Menyadari berbagai faktor yang menentukan tax ratio suatu negara, lanjutnya, Kementerian Keuangan melakukan reformasi perpajakan secara komprehensif yang meliputi program: perbaikan Sumber Daya Manusia, Perbaikan basis Data dan sistem teknologi informasi serta proses bisnis, perbaikan struktur kelembagaan, dan perbaikan peraturan perundangan-undangan (UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum Perpajakan, dan aturan-aturan dibawahnya)

Dia mengatakan pajak selain sebagai alat mengumpulkan penerimaan negara, juga merupakan instrumen kebijakan fiskal untuk mengelola ekonomi. Angka tax ratio dapat naik atau turun seiring dengan kegiatan ekonomi yang diukur dengan PDB.

Dalam kondisi ekonomi lesu dan mengalami tekanan – seperti penurunan harga komoditas atau resesi ekonomi global, pemerintah suatu negara dapat memberikan stimulus ekonomi (counter cyclical) dengan menurunkan tarif pajak atau memberikan insentif pengecualian pajak (tax holiday, tax allowance, atau pajak ditanggung pemerintah) – sehingga ekonomi dapat pulih dan bergairah kembali pertumbuhannya. Dalam situasi tersebut tax rasio justru dibuat menurun.

“Demikian juga dalam kondisi ekonomi mengalami pemanasan (overheating) atau cenderung menggelembung tidak sehat (bubble), maka pajak dapat ditingkatkan dan diefektifkan – untuk mengerem dan memperlambat perekonomian.”

Maka dari itu, dia menegaskan naik turunnya tax ratio mencerminkan berbagai hal baik sebagai alat kebijakan fiskal maupun masalah struktural/fundamental suatu perekonomian dan negara. “Menyatakan bahwa tax rasio menurun sebagai bentuk kebocoran anggaran jelas keliru, terlalu menyederhanakan masalah dan dapat menyesatkan masyarakat,” tegasnya.

Di berbagai negara tax ratio mengalami perubahan setiap periode, misalnya Amerika Serikat yang tax ratio pada tahun 2000 sebesar 28,2 (ekonomi relatif menguat sebelum krisis keuangan) dan tahun 2017 turun menjadi 27,1 (sebagai upaya stimulus mengembalikan pertumbuhan ekonominya).

Pada tahun 2016, 26 negara mengalami kenaikan tax ratio bila dibanding tahun 2015, sementara itu 10 negara OECD lainnya mengalami penurunan.

Nufransa menambahkan istilah kebocoran uang negara juga dapat diartikan secara luas dan multi dimensi. Kebocoran uang negara bisa disebabkan oleh kejahatan korupsi di semua cabang pemerintahan baik Eksekutif (Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah), Legislatif dan Yudikatif.

“Jenis kebocoran ini bila masyarakat mengetahui harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum termasuk KPK, karena negara Indonesia adalah negara hukum.”

Sedang ‘kebocoran’ anggaran lain adalah inefisiensi maupun kelemahan perencanaan. Ini bentuk penggunaan anggaran yang tidak optimal atau bahkan sia-sia. Kelemahan jenis ini merupakan persoalan kapasitas dan kualitas birokrasi yang fundamental.

“Obatnya adalah reformasi birokrasi, membangun budaya transparansi dan akuntabilitas, dan membangun kompetensi birokrasi.”

Pemerintah terus memerangi berbagai kebocoran anggaran baik yang berbentuk kejahatan korupsi, maupun dalam bentuk infesiensi dan kelemahan kompetensi. Ini adalah tugas seluruh komponen pemerintahan yang dituangkan dalam berbagai program: strategi nasional pemberantasan korupsi, menciptakan wilayah bebas korupsi dan zona integritas, maupun program Reformasi Birokrasi dan transformasi kelembagaan.

Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan negara akan terus berkomitmen mengelola APBN dan keuangan negara secara berintegritas, kredibel dan profesional. Setiap tahun pengelolaan keuangan negara dan APBN diaudit oleh BPK. Tahun 2016 dan 2017 laporan keuangan pemerintah pusat mendapat predikat wajar tanpa pengecualian dari BPK.

“Kami sangat menentang kebocoran anggaran baik dari korupsi maupun inefisiensi pada penggunaan anggaran. APBN adalah uang rakyat, hak rakyat harus terus dijaga dan tidak boleh dikhianati satu Rupiah pun.”

Sebelumnya, Tim Penelitian dan Pengembangan Prabowo-Sandi, Haryyadin Mahardika, mengatakan kebocoran anggaran dari sisi penerimaan negara juga terlihat dari rasio pajak yang terus menurun. Saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah rasio pajak sebesar 13 persen.

“Kebocoran, dari sisi penerimaan, perbandingan mencolok ketika 2014 tax ratio 13,5 persen. Jadi yang ditinggalkan SBY tak ratio 13,5 persen. Saat Jokowi tax ratio jatuh 2 persen menjadi 11,7 persen,” ujar Haryyadin.

Haryyadin mengatakan, penurunan rasio pajak ini mungkin kurang menarik bagi masyarakat awam. Padahal, jika ditelisik lebih dalam penurunan rasio pajak membuat negara kehilangan pendapatan triliunan.

“Bagi awam penurunan rasio pajak itu dianggap biasa saja lah. Tapi kalau kita kemudian kalikan, berapa ratus triliun yang hilang hanya dalam 1 tahun. Apa yang menarik artinya ratusan triliunan yang hilang,” jelasnya.

Sumber : merdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only