Patriotisme UMKM Membayar Pajak

Tanpa terasa, masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah berjalan satu bulan. Suhu perpolitikan masa mencuri hati dan simpati pemilih di tahapan kampanye pemilihan umum terasa makin memanas. Sayangnya, bila tidak dengan bijak disusun, konten janji kampanye terkadang disertai wancana dan informasi yang beresiko bias, dan dapat berefek kontra produktif bagi pembangunan.

Ditengah keseruan kontestasi Pilpres tahun ini, muncul berbagai wancana dan isu hangat yang mengemuka ditengah masyarakat, seperti wancana pembebasan pajak atau pajak 0% bagi pelaku usaha, yang masuk dalam bagian progam aksi reformasi perpajakan pasangan capres-cawapres. Wacana tersebut menjadi komoditas politik salah satu pasangan calon presiden pada masa kampanye. Isu ini cukup menarik untuk dibedah lebih jauh.

Salah satu pasangan calon presiden tersebut beralasan membebaskan pajak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)adalah untuk memberikan kesempatan kepada UMKM untuk berkembang. Pelaku UMKM diusulkan di bebaskan dari pajak karena masih banyak yang tidak mau, dan tidak mampu membayar pajak. Anggapan ini terburu-buru, dan akibatnya justru menghasilkan suatu usulan kebijakan yang naif dan tidak sesuai fakta.

Penulis berpendapat, pembebasan pajak justru tidak akan efektif karena beberapa masalah.

Pertama, pembebasan pajak akan menghilangkan sarana bagi para pelaku UMKM untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak. Sebuah survei kepatuhan pajak dari PDAT (Pusat Data dan Analisa Tempo) Bersama CITA (Centre for Indonesia Taxation Analysis) menemukan fakta bahwa kesadaran membayar pajak sebagai kewajiban modal cukup tinggi mencapai 96,3%. Sebagian respon survei itu adalah UMKM.

Artinya, tingkat kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari pelaku UMKM yang selama ini terus meningkat, akan serta merta merosot dan luntur. Menumbuhkan kembali yang sudah hilang tentu akan sulit dibandingkan dengan melanjutkan momentum positif yang saat ini sedang bergulir.

Kedua, tax morale secara umum akan merosot. Pembebasan pajak bagi segmen masyarakat tertentu (pelaku UMKM) akan menjadi tidak adil bagi segmen yang lain. Seperti pekerja sektor formal yang terkena pajak walaupun penghasilannya hanya sedikit di atas ambang PTKP yaitu Rp 54 juta setahun.

Ketiga, pembebasan pajak akan membuat pembayar pajak dari kalangan pelaku usaha yang seharusnya sudah masuk di atas kategori membayar pajak UMKM, bisa melakukan strategi pemecahan usaha. Strategi tersebut bisa jadi dilakukan agar mereka bisa ikut menikmati pembebasan kewajiban perpajakan.

Keempat, pembebasan pajak secara langsung akan mengurangi penerimaan negara dari pajak. Berkurangnya penerimaan pajak tentu saja akan mengurangi anggaran pemerintah untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintahan. Termasuk akan membawa efek negatif bagi perekonomian dan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kelima, shortfall penerimaan pajak secara otomatis akan menyulitkan pemerintah dalam sisi fiskal. Untuk menutup defisit akibat berkurangnya pajak, pemerintah bakal menarik utang lebih besar. Membengkaknya utang tentu tidak diinginkan oleh kita.

Muncul pertanyaan, bagaimana jika pembebasan pajak hanya sementara waktu, misalnya dua tahun di awal? Bagaimanapun pembebasan pajak akan memberikan efek-efek seperti disebutkan di atas meskipun dalam jangka waktu tertentu. Dan efek tersebut akan terus bergulir selama ada pelaku UMKM yang baru berdiri dan terdaftar.

Ketika itu terjadi, maka saat posisi kembali normal maka pelaku UMKM maupun non UMKM yang sebelumnya telahpatuh akan mencari-cari siasat untuk menjadi tidak patuh. Jangan lupa, salah satu hal yang membuat wajib pajak tidak patuh adalah tidak hadirnya aspek keadilan. Bagaimana dengan 1,5 juta pelaku UMKM yang kini sudah terdaftar dan punya Nomor Pokok Wajib Pajak.

Langkah terbaik untuk mengelola perpajakan sektor usaha pada skala UMKM adalah memberikan insentif secaraterukur dan bertahap. Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak KementerianKeuangan telah melakukan upaya terencana, bertahap untuk meningkatkan intensifikasi ekstensifikasi perpajakan.

Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013, perpajakan atas pelaku UMKM mengikuti skema perpajakan yang berlaku umum. Dengan mempertimbangkan untuk memberikan kemudahan, pemerintah kemudian menetapkan perlakuan khusus bagi wajib pajak, termasuk UMKM yang memenuhi kriteria tertentu, antara lain jumlah penjualan usaha atau omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar.

Kemudahan diberikan melalui duahal yaitu tarif dan tata cara perhitungan. Tarif sebesar 1% diperhitungkan langsung dari omzet, sehingga jauh lebih sederhana karena tidak membutuhkan pembukuan. Cukup ada catatan jumlah omzet, maka pajak yang harus disetorkan sudah bisa diketahui yaitu 1%.

Pada 2018, melalui Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2018 yang menggantikan PP 46 Tahun 2013, tarif pajak UMKM dipangkas 50% sehingga turun menjadi 0,5% dari omzet. Dengan tarif yang lebih kecil, maka pajak yang dibayarkan lebih kecil sehingga diharapkan dapat membatu pelaku UMKM untuk melakukan investasi dan terus mengembangkan usaha.

Namun demikian, dalam skema insentif PP 23 tersebut mensyaratkan agar dalam jangka waktu tertentu para pelaku usaha secara bertahap mulai menyelenggarakan pembukuan yang lebih rapi sehingga setelah masa berlakunya insentif, mereka dapat melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai skema umum.

Meski penurunan tarif mengurangi penerimaan pajak sementara waktu, kebijakan tersebut terbukti efektif mendorong kepatuhan wajib pajak UMKM. Data menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari pelaku UMKM memang berkurang 15%. Sementara pembayar pajak bertambah menjadi 1,69 juta WP UMKM atau naik 13% dibandingkan tahun 2017.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menawarkan usulan yang grasa grusu dapat berakibat kontra produktif. Seolah-olah usulan pembebasan pajak itu popular dan menguntungkan. Namun sebaliknya, kurang baik efeknya bagi prekonomian. Wancana pembebasan pajak akan membawa berbagai persoalan baru dan merusak hasil yang baik yang telah dicapai selama ini.

Sebaliknya, dibandingkan dengan pembebasan pajak, pelaku UMKM lebih membutuhkan peedampingan dan dukungan melalui pengenalan dasar-dasar pengelolaan usaha, pemasaran, administrasi ,permodalan, dan aspek bisnis lain termasuk aspek perpajakan di bidang usaha. Sebuah pendekatan yang lebih komprehensif. Cara itu akan membuat UMKM berdaya saing dengan tidak meremehkan patriotisme mereka ikut membiayai pembangunan nasional.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only