Pajak,Ekonomi Digital & Sharing Ekonomi

Ekonomi digital. Istilah ini yang lebih umum dipakai daripada e-commerce. Ekonomi digital inilah yang membagikan platform ekonomi berbagi, atau sharing economy. Mereka menyediakan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasillan, dengan mempertemukan pemilik barang maupun penyedia jasa kepada berberapa konsumen.

Penyedia jasa itu, mulai dari jasa angkutan seperti ojek, taksi, sewa rumah, penyewaan kendaraan, jasa pertukangan, streaming music, perdagangan lewat online market place, hingga financial technology (fintech). Sharing ekonomi ini, juga mempertemukan pemilik dana dan peminjam dengan peer-to-peer lending.

Pemerintah sudah mengatur perpajakan atas ekonomi digital melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Namun, menarik kita tunggu bagaimana menerapkan peraturan pajak tersebut bagi pelaku digital dan sharing ekonomi dalam hal pemotongan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga pajak

Platform sharing economy pada umumnya disediakan oleh perusahaan digital, dengan menyediakan layanan kepada konsumen untuk berinteraksi dengan penyedia barang dan jasa melalui web atau aplikasi telepon pintar.

Hal ini menciptakan resiko berkurangnya bahkan potensi hilangnya penerimaan pajak karena sifat pembayaran serba digital, yang seringkali berbasis global atau melewati lintas batas negara.

Kondisi ini tentu dapat memberi tantangan bagi pemerintah dalam rangka mendong kepatuhan pelaporan pajak. Khusunya kepatuhan dari pemilik platform yang berbasis dari negara lain.

Karena itulah, saat ini beberapa otoritas perpajakan berupa menjalin kerjasama untuk melakukan pertukaran informasi. Informasiini menyangkut aktivitas transaksi individua tau entitas dari negara lain.

Upaya menjalin kerjasama ini seperti dilaporkan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Comparative Information and Other Advances and Emerging Economies (2017).

Pada laporan tersebut menjelaskan bagaimana pengalaman Australia yang menggunakan data pengguna platform digital,hingga Finlandia yang menggunakan data pembayaran kartu kredit/debit online untuk menguji kepatuhan wajib pajak dalam membayar PPh maupun PPN dalam sharing economy.

Sebenarnya, dalam PMK 210/2018sudah mengatur teknis pelaporan pajak ini. Otoritas pajak Indonesia melakukan apa yang sudah dilakukan oleh otoritas pajak negara lain, yakni dengan penggunaan data dan informasi pelaku ekonomi digital.

Permasalahan pelaporan pajakpelaku sharing economy umumnya adalah, penghasilan yang ada bukan merupakan penghasilan dari pekerjaan. Karena, pelaku mereka merupakan mitra usaha.

Perlakuan pajak bisa berberda tergantung jenis penghasilan yang diterima. Apakah sebagai penghasilan usaha,atau penghasilan jenis lainnya seperti sewa, pekerjaan bebas, bunga hingga hasil investasi. Penggolongan jenis penghasilan ini sangat penting, karena akan  mempengaruhi perlakuan pajak sesuai dengan jenis penghasilan.

Permasalahan timbul karena tidak adanya kewajiban bagi penyedia platform digital yang memberikan penghasilan kepada para mitra mereka, untuk memotong PPh pasal 21. Sebab, penghasilan yang diterima mitra adalah bukan penghasilan sebagai karyawan atau pun penghasilan jasa.

Pendapatan terbesar sharing economy banyak berasal dari platform digital asing. Dimana perusahaan digital asing, umumnya digolongkan sebagai reprensentative office dan bukan digolongkan sebagai BUT (Bentuk Usaha Tetap). Pada PMK 210/2018 hanya mengatur secara tegas kewajiban penyedia platform asing yang berupa BUT, dan tidak menjelaskan tentang kewajiban platform digital asing yang berbentuk reprensentative office.

Khususnya teknologi finansial bisa mempertemukan pemilik uang dengan penerima pinjaman. Karena itu ada penghasilan atas imbalan misalnya berupa bunga atau imbal hasil kepada pemilik dana atau pemodal. Transaksi menimbulkan pertanyaan, siapa yang wajib memungut pajak atas bunga atau imbal hasil yang diberikan lewat platform digital?

Ada potensi besar penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia dari kegiatan sharing economy. Ini terlihat dari ribuan mitra pengemudi ojek dan taksi online, ribuan penjual di toko online lewat platform marketplace. Hal ini menimbulkan kewajiban PPh orang pribadi yang bisa digali.

Pelaku usaha bisa dikenakan PPh UMKM. Dengan catatan jika penghasilan mereka berbagi sebagai orang pribadi dapat digolongkan sebagai penghasilan usaha dan bukan penghasilan dari pekerjaan bebas tenaga ahli, seperti akuntan atau konsultan.

Mereka bisa dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5% sesuai PP No 23 tahun 2018. Yang jadi pertanyaan, apakah pengemudi ojek atau taksi online bisa dikenakan PPh final 0,5%? Meskipun di PP 23/2018 membatasi penerapan PPh final tersebut untuk orang pribadi selama maksimal 7 tahun.

PP 23/2018 mengatur pemotong pajak untuk PPh final 0,5% atas kegiatan usaha, yang sebenarnya dapatditerapkan kepada penyedia platform digital. Namun, belum ada ketentuanlanjutannya yang tentunya harus melihat model usaha dari sharing economy danjenis penghasilan mitra usaha sehingga tidak semua peserta ekonomi berbagi dapat menggunakannya. Contohnya atas bunga dari platform tekfin atau penawaran jasa tenaga ahli orang pribadi lewat platform digital.

Untuk platform digital asing, potensi penerimaan PPN juga ada, karena berdasarkan UU PPN, penerima jasa dari luar negeri termasuk orang pribadi yang bukan termasuk pengusaha kena pajak,atas jasa dari platform digital asing, diwajibkan menyetor sendiri PPN terutang atas jasa tersebut.

Sharing economy juga dapat memberi potensi penerimaan pajak daerah, apabila properti yang  disewakan dapat digolongkan sebagai jasa penginapan dan dikenakan pajak hotel.

Ada potensi penerimaan pajak yang besar di Indonesia dari pelaku sharing economy dengan platform digital meskidengan pendekatan berbeda karena penghasilan bukan lagi sebagai karyawan dan harus ditentukan jenis penghasilan untuk menentukan perlakuan pajaknya baik sebagai penghasilan kegiatan usaha, pekerjaan bebas, atau penghasilan lainnya sehingga dapat menjadi potensi penerimaan PPN, PPh, hingga pajak daerah.

Jika PMK 210/2018 akan diterapkan, tentunya permasalahan level of playing field  bagi platform digital asing, khususnya yang hanya berupa reprensentative office, perlu diatur lebih lanjut dalam hal pengumpulan informasi pajak seperti NPWP dan penghasilan.

Sumber: Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only