Perlu Pangkas Impor yang Tak Penting

JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia tahun ini diprediksi sulit untuk surplus, karena masih kuatnya tekanan dari faktor internal dan eksternal yang memicu defisit perdagangan.

Salah satu strategi yang dinilai efektif mengurangi defisit perdagangan pada 2019 ini adalah memangkas impor yang tidak berdampak signifikan bagi perekonomian. Dengan kata lain, kebijakan impor hanya dilakukan untuk komoditas yang benar-benar penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Strategi itu perlu dilakukan karena impor merupakan hal yang bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Di sisi lain, Indonesia dinilai masih kesulitan memacu kinerja ekspor karena terganjal masalah fundamental, yakni perlambatan ekonomi global. “Meski begitu, harus ditelaah juga jangan sampai pemangkasan impor berdampak negatif bagi produksi dalam negeri. Sebab, 76,2 persen impor Januari lalu berupa bahan baku dan bahan penolong.

Jadi harus dipilah-pilah, komponen impor apa yang tidak berdampak langsung ke pertumbuhan ekonomi,” ujar ekonom Indef, Eko Listiyanto, di Jakarta, Minggu (17/2). Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 membukukan defisit 1,16 miliar dollar AS. 

Ini lantaran ekspor Indonesia sebesar 14,55 miliar dollar AS lebih kecil dari impor, yakni 15,31 miliar dollar AS. Defisit itu melebar dibandingkan defisit bulan sebelumnya yang mencapai 1,1 miliar dollar AS. Menurut Eko, hingga kini belum terlihat upaya signifikan dari pemerintah untuk membendung defisit perdagangan.

Ini yang menjadi faktor utama defisit bakal berlanjut sepanjang tahun ini. Dia mencontohkan, kebijakan menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor bagi 1.147 pos tarif untuk memangkas impor barang konsumsi belum banyak dampaknya terhadap neraca perdagangan. Di sisi lain, dampak perang dagang justru makin nyata mengganjal ekspor Indonesia.

“Ekonomi Tiongkok sudah mulai goyah. Amerika Serikat juga menderita. Dari situ kelihatan potensi defisit akan melebar. Di sisi lain, kebutuhan kita di dalam negeri itu tinggi, yang sejauh ini dipenuhi dari impor, baik pangan maupun barang modal,” tukas Eko. Apabila tidak ada upaya serius mengatasi impor tersebut maka dikhawatirkan defisit perdagangan kian lebar.

Menurut Eko, salah satu poin kritisnya adalah sektor minyak dan gas (migas). “Sejauh sektor migas tidak ada perbaikan yang cukup signifikan. Sebetulnya kita belum melihat sebuah upaya penutupan defisit yang signifikan juga,” kata dia. Eko menambahkan sektor nonmigas yang diharapkan mampu menambal defisit, faktanya belum dapat diandalkan.

Sebab, defisit migas terlalu besar. Realisasi lifting minyak pada 2018 hanya mencapai 1,92 juta barel per hari, sementara kebutuhannya sekira 1,6 juta barel per hari. “Akibatnya, minyak mentah masih harus impor. Solusinya sudah ada kebijakan B-20, tapi tetap belum bisa menggantikan kebutuhan BBM (bahan bakar minyak) kita,” kata dia. 

Sumber: Koran-jakarta.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only