PPN, Harga Avtur, dan Mahalnya Tiket Pesawat

Jakarta. Dalam beberapa hari terakhir, isu mahalnya tiket pesawat terbang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Banyak pihak bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa harga tiket tiba-tiba menjadi mahal di pasaran. Beberapa pihak menyebut harga bahan bakar pesawat terbang atau avtur sebagai penyebab melambungnya harga tiket tersebut. Selanjutnya, pajak pertambahan nilai (PPN) dituding pula sebagai penyebab mahalnya avtur di Indonesia.

Mahalnya harga avtur pun telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, dan meminta untuk mengkaji ulang atas kebijakan harga avtur Pertamina serta melakukan efisiensi biaya. Sementara itu, Menteri BUMN menganggap PPN sebagai penyebab tingginya harga avtur dibandingkan negara lain, dan mengusulkan penghapusan pengenaan PPN atas avtur kepada Menteri Keuangan. Isu PPN avtur sebagai penyebab mahalnya harga tiket pun mendapatkan tanggapan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP menyampaikan bahwa PPN atas avtur sudah sejak lama dikenakan, dan tidak mengalami perubahan sampai sekarang. 

DJP pun mempertanyakan mengapa baru sekarang PPN avtur dipermasalahkan, sehingga kurang tepat bila PPN dianggap sebagai penyebab mahalnya harga tiket saat ini. Pengenaan PPN atas avtur sebagai penyebab mahalnya harga tiket pada akhirnya menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Isu PPN avtur yang dihubungkan dengan mahalnya tiket pesawat tampaknya cukup menarik dikupas secara ringkas untuk menjawab apakah benar PPN avtur sebagai penyebab mahalnya harga tiket pesawat, dan apakah pembebasan PPN avtur merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan mahalnya tiket penerbangan di Indonesia. Pemberian pemahaman tentang PPN tampaknya perlu pula diuraikan dengan ringkas, karena tidak sedikit masyarakat yang belum memahami tentang PPN.

PPN Avtur

PPN yang dalam bahasa bekennya value added tax (VAT) merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) dalam negeri atau impor dari pengusaha kena pajak (PKP) kepada konsumen akhir (rumah tangga) atau PKP lainnya. PPN di Indonesia dapat dikatakan hampir sama dengan good and service tax (GST) yang diterapkan oleh negara-negara lainnya. PPN dapat pula disebut dengan pajak konsumsi dalam negeri, dan mengenakan PPN dengan tarif nol persen (0%) terhadap BKP atau JKP yang diekspor. 

Penyerahan ekspor dipungut PPN 0% dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Internasional. Hal ini merupakan hal yang sudah umum di dunia internasional di mana sebagian besar negara yang menganut VAT atau GST mengenakan tarif 0% atas barang atau jasa yang diekspornya.

PPN atau GST mengadopsi konsep pengkreditan, maksudnya adalah PPN yang dibayar oleh PKP ketika membeli barang atau jasa (PPN Masukan) dapat dikreditkan dengan PPN yang dipungut PKP (PPN Keluaran). Apabila PPN Masukan lebih besar dibandingkan dengan PPN Keluaran, maka PPN Masukan akan dikembalikan oleh negara atau restitusi. Dengan kata lain, perusahaan yang berstatus PKP tidak akan terbebani oleh PPN Masukan ketika barang atau jasa yang dijual juga berstatus BKP atau JKP.

Pertanyaannya, bagaimana peran PPN avtur dalam pembentukan harga tiket? Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, avtur dan tiket merupakan barang dan jasa kena pajak yang dikenai PPN 10% bila dikonsumsi di Indonesia. Operator penerbangan seperti Garuda Indonesia (GIA) dan Lion Air (LA) akan membayar PPN avtur kepada Pertamina (pemungut PPN) ketika melakukan pembelian avtur, di mana avtur merupakan salah satu barang dan biaya inputdalam usaha jasa penerbangan. 

PPN avtur inilah yang disebut dengan PPN Masukan. Selanjutnya operator penerbangan akan memungut PPN atas tiket kepada calon penumpang, dan menyetorkannya kepada negara. PPN tiket inilah yang kemudian disebut sebagai PPN Keluaran bagi operator penerbangan. Sebagaimana telah diuraikan pula di atas bahwa PPN menganut prinsip pengkreditan, operator penerbangan dapat mengkreditkan PPN avtur yang telah dibayarkan kepada Pertamina pada periode selanjutnya sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan, sehingga PPN avtur tidak menjadi beban. 

Ketika tidak terbebani, operator penerbangan seharusnya tidak membebankan atau memasukkan PPN avtur tersebut ke dalam struktur biaya produksi tiket pesawat. Komponen biaya tiket pesawat seharusnya mencakup biaya sewa pesawat atau depresiasi kepemilikan pesawat, biaya avtur (tidak termasuk PPN), biaya pegawai, biaya lainnya dan margin yang ditetapkan oleh operator penerbangan. Memasukkan PPN avtur dalam perhitungan harga tiket berarti akan meningkatkan margin usaha operator penerbangan.

Sebaliknya, apabila PPN avtur dibebaskan maka penghapusan tersebut cenderung akan menaikkan harga tiket pesawat. Hal ini terjadi karena Pertamina tidak dapat mengkreditkan PPN Masukannya ketika avtur dibebaskan dari pemungutan PPN. PPN Masukan Pertamina tersebut akan dikapitalisasi dan masuk dalam struktur harga avtur, selanjutnya akan ditanggung oleh operator penerbangan, dan tentunya akan dibebankan pada harga tiket pesawat yang selanjutnya akan dibayar calon penumpang.

Biaya Produksi

Secara umum, harga tiket terbentuk dari biaya produksi plus margin usaha, sedangkan harga yang harus dibayar calon penumpang adalah biaya produksi, margin, dan PPN tiket. Karenanya berbicara tentang mahalnya harga tiket seharusnya tidak hanya memperhatikan PPN avtur, tetapi juga sangat perlu memperhatikan bagaimana harga tiket tersebut terbentuk, dalam hal ini biaya produksi, seberapa efisien biaya yang membentuknya, dan berapa besar margin yang ditargetkan oleh operator penerbangan.

Sebagai contoh gambaran biaya produksi tiket operator penerbangan, dapat terlihat dari kinerja keuangan GIA, salah satu operator penerbangan domestik dan luar negeri di Indonesia. Pada 2017, GIA (2018) mencatatkan beban usaha sebesar USD 4,24 miliar atau 101,4% dari pendapatan operasi. Struktur beban usaha GIA tahun 2017 mencakup beberapa jenis beban, yaitu 1) beban operasional penerbangan, 2) beban pemeliharaan dan perbaikan, 3) bandara, 4) beban tiket, penjualan, dan promosi, 5) pelayanan penumpang, 6) beban administrasi dan umum, 7) beban operasional hotel, 8) beban operasional transportasi, dan 9) beban operasional jaringan. Beban operasional penerbangan GIA mencapai USD 2,48 miliar, dan kontributor terbesar pada beban usaha atau sekitar 57,99% dari total beban usaha.

Struktur beban operasional penerbangan GIA sendiri terurai menjadi beberapa jenis biaya, yaitu 1) biaya bahan bakar, 2) biaya sewa dan charter pesawat, 3) biaya gaji dan tunjangan, 4) beban penyusutan, 5) biaya asuransi, 6) biaya imbalan kerja, dan 7) lain-lain. Biaya bahan bakar merupakan beban operasional penerbangan terbesar, disusul biaya sewa dan charter. Pada 2017, biaya bahan bakar GIA mencapai USD 1,15 miliar, sedangkan biaya sewa dan charter sekitar USD 1,06 miliar. Kontribusi biaya bahan bakar terhadap beban operasional penerbangan mencapai 46,6% dan terhadap total beban usaha mencapai 27,3%. 

Proporsi 27,3% merupakan angka yang besar dan diakui mempunyai dampak yang signifikan terhadap biaya produksi tiket pesawat. Namun demikian, proporsi 27,3% tampaknya lebih tinggi dibandingkan proporsi biaya bahan bakar pada industri penerbangan global yang mencapai 23,5% terhadap biaya operasi perusahaan pada 2018 padahal harga minyak dunia pada 2018 di kisaran USD 73.0/barrel Brent, lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 di kisaran USD 54.5/bbl Brent (IATA, 2018).

Struktur biaya usaha operator penerbangan tentunya belum sepenuhnya menjawab persoalan mahal-murahnya harga tiket. Yang dapat menjawabnya adalah kewajaran besaran atau efisiensi beban usaha tersebut. Lebih lanjut, efisiensi biaya sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen dalam mengelola biaya input yang merupakan salah satu faktor internal perusahaan, dan faktor eksternal seperti nilai tukar, perkembangan harga minyak mentah dunia, dan bencana alam. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas manajemen sangat menentukan efisiensi biaya usaha. Sebagai contoh, manajemen menentukan pilihan apakah beli atau sewa pesawat terbang. Logikanya, biaya yang dibebankan pada tiket dari beli pesawat akan lebih murah dibandingkan dengan sewa.

Manajemen pula yang menetapkan gaji, remunerasi, dan fasilitas yang diberikan kepada pilot, pramugari, dan pegawai lainnya. Belajar dari agency theory, manajemen lebih menyukai tidak bekerja keras namun ingin mendapatkan penghasilan yang besar. Oleh karena itu, efisiensi biaya tentunya sangat mempengaruhi harga jual tiket dan/atau margin usaha operator penerbangan.

Di samping faktor internal, faktor eksternal dapat pula berpengaruh terhadap besaran harga tiket. Sebagai contoh, beban usaha operator penerbangan sebagian besar dalam bentuk USD, termasuk biaya sewa atau charter pesawat dan pembelian avtur.

Karenanya ketika nilai tukar rupiah terhadap USD menurun, maka harga tiket yang harus dibayar oleh calon penumpang domestik logikanya juga meningkat. Namun demikian, penurunan nilai rupiah bukan berarti menyebabkan harga tiket lebih mahal sepenuhnya, tergantung pula dari kemampuan manajemen operator pesawat melakukan mitigasi risiko atas dampak penurunan nilai rupiah.

Kembali, PPN avtur seharusnya tidak menjadi komponen biaya produksi tiket, harga avturnyalah yang seharusnya masuk. Besaran harga avtur juga sangat dipengaruhi oleh besaran biaya produksi avtur tersebut, dan juga tergantung bagaimana Pertamina menyediakan atau memproduksi avtur tersebut.

Pertamina dapat memproduksi sendiri melalui kilang yang dimiliki sendiri atau avtur diimpor dari negara lainnya, misalnya dari Singapura dan Malaysia. 

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia melakukan impor avtur dari luar negeri. Berdasarkan data BPS (2019), impor avtur Indonesia pada 2018 mencapai 1,22 juta ton. Oleh karena itu, apabila avtur diimpor dari Singapura dan/atau Malaysia, tentunya sesuatu hal yang normal bila harga avtur di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan harga avtur di Singapura atau Malaysia karena terdapat biaya logistik dalam pengiriman avtur.

Tinggal persoalannya adalah seberapa jauh selisih harga avtur di negara asal barang impor dengan di Indonesia, wajar atau tidak. Bila avtur diproduksi sendiri oleh Pertamina, biaya kilang yang tentunya menjadi isu perhatian. Efisiensi kilang akan sangat menentukan biaya produksi avtur.

Solusi

Uraian di atas menunjukkan bahwa PPN avtur seharusnya tidak menjadi komponen biaya produksi tiket penerbangan pesawat. Konsep pengkreditan dalam PPN membuat operator penerbangan tidak terbebani PPN atas avtur.

Namun demikian, ketika PPN avtur diperhitungkan dalam penetapan harga tiket, maka yang terjadi adalah penambahan margin operator penerbangan, berarti keuntungan bertambah. Sebaliknya, pembebasan PPN avtur cenderung dapat meningkatkan harga tiket pesawat mengingat PPN masukan Pertamina tidak dapat dikreditkan, akan dibebankan pada harga avtur, dan selanjutnya terbebankan pada harga tiket.

Uraian di atas, tanpa ditambah dengan pertimbangkan kondisi APBN dan rasa keadilan bagi masyarakat, telah menunjukkan bahwa pembebasan PPN avtur tampaknya bukanlah kebijakan yang tepat. Tidak hanya PPN avtur, pemerintah perlu pula melihat struktur biaya dan kewajaran biaya produksi tiket pesawat dan avtur, apakah operator penerbangan atau Pertamina telah melakukan efisiensi secara optimal atau belum.

Inefisiensi biaya juga ikut andil besar sebagai penyebab mahalnya tiket.
Pasar jasa penerbangan pun perlu menjadi perhatian, di mana pelaku usaha jasa ini di Indonesia jumlahnya cukup sedikit. Pasar oligopoli yang merugikan konsumen tampaknya dapat tercipta dengan mudah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan batas atas harga tiket yang berpijak pada kepentingan konsumen dan operator penerbangan.

Pasar avtur pun perlu menjadi perhatian, apakah pemerintah perlu membuka pasar avtur atau menjadi mekanisme pasar atau cara lainnya untuk menciptakan harga avtur yang wajar. Tentunya perlu dilakukan secara hati-hati. Belajar dari apa yang terjadi pada mekanisme pasar BBM, mekanisme pasar pada avtur belum tentu efektif dalam penyediaan avtur di seluruh wilayah Indonesia. 

Perusahaan swasta sulit rasanya akan mau menyediakan avtur di daerah marginal karena skala ekonominya belum besar dan membutuhkan investasi infrastruktur yang besar pula. Tidak menutup kemungkinan swasta akan berperan sebagai reseller avtur saja –beli avtur dari Pertamina dan ikut bidingdalam penyediaan avtur di bandara yang berada di daerah marginal. Dampaknya, harga avtur cenderung akan meningkat. 

Kebijakan batas atas harga pada avtur Pertamina dan melihat penyediaan avtur di seluruh wilayah Indonesia sebagai satu portofolio mungkin dapat menjadi alternatif solusi sebagai upaya menciptakan harga avtur yang wajar. Kebijakan batas atas harga dapat menggunakan indeks harga avtur internasional ditambah biaya logistik dan margin wajar Pertamina tampaknya perlu menjadi perhatian pula.

Sumber: detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only