Penarikan Utang Melaju Kencang

Penarikan utang pemerintah secara besar-besaran dikhawatirkan timbulkan pengetatan likuiditas

Jakarta. Realisasi pembiayaan utang pemerintah pada wal tahun ini melonjak tajam dibandingkan tahun 2018. Peningkatan ini lantaran kekhawatiran kondisi pasar finansial yang diperkirakan penuh tekanan hingga awal tahun, meskipun realisasinya malah stabil positif.

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat penarikan utang pemerintah pada Januari 2019 mencapai Rp 122,47 triliun, atau tumbuh 354% dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/yoy). Realisasi itu setara dengan 34,09% dari target APBN 2019 Rp 359,25 triliun.

Realisasi pembiayaan utang tahun ini didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN) neto sebesar Rp 119,54 triliun atau 30,73% dari target tahun ini sebesar Rp 388,96 triliun. Penerbitan SBN Januari 2019 juga melonjak 670% secara tahunan.

Sebaliknya, realisasi pinjaman (neto) hanya Rp 2,93 triliun sepanjang Januari 2019, atau turun 74% dibandingkan dengan realisasi Januari tahun sebelumnya, yang mencapai Rp 11,46 triliun. Sejak awal tahun, seluruh pinjaman yang ditarik pemerintah berasal dari luar negeri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, tingginta realisasi pembiayaan utang sepanjang Januari lalu merupakan strategi frontloading pemerintah. “Ini dalam rangka mengantisipasi kondisi pasar dan memanfaatkan kesempatan yang cukup favorable pada Januari kemarin,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, pekan lalu.

Antisipasi ditujukan terhadap risiko kondisi pasar global yang masih diliputi ketidakpastian dan volatilitas. Di suku bunga The Federal Reserve, berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, serta fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Menjelang tutup tahun kemarin, persepsi risiko surat utang atau credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 10 tahun dalam level tinggi, di level 214 pada 31 Desember 2018. Ini nilai yang besar, CDS Indonesia pernah di level 100-an.

Pemerintah memanfaatkan likuiditas yang sedang longgar di awal tahun.

Apalagi, pergerakan CDS dalam tren meningkat hingga 3 Januari di level 220,83. Meskipun, setelah itu dalam tren turun dan kini di level 177,79 pada 22 Februari 2019.

Tingginya penerbitan utang pemerintah juga dalam rangka memanfaatkan tingginya likuiditas pasar keuangan. Bank Indonesia mencatat, aliran masuk modal asing (inflow) sejak awal tahun hingga 22 Februari lalu mencapai Rp 45,9 triliun. “Awal tahun lalu (pembiayaan utang) hanya 6,7% dari target, karena volatilitas sudah tinggi, sementara tahun ini stabil sehingga penerbitan surat utang, termasuk surat utang global, kita prefer kami lakukan di januari,” lanjut Sri Mulyani.

Kemkeu memanfaatkan momentum inflow untuk mengamankan pembiayaan APBN lebih sini. Selain itu, rencana penerbitan SBN yang tinggi sepanjang kuartal I 2019 ini ditujukan untuk pembayaran utang jatuh tempo yang diproyeksi relatif tinggi pada kuartal II. “Sekaligus sebagai mitigasi kemungkinan berkurangnya likuiditas pada kuartal kedua sebagai dampak dari tingginya belanja masyarakat dan lebaran,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani menegaskan, kebijakan frontloading bukanlah hal baru yang dilakukan pemerintah. Strategi tersebut juga dianggap terbukti cukup efektif untuk mengelola kebutuhan pembiayaan APBN di tengah, situasi yang diliputi ketidakpastian.

“Jadi kami menambahkan, kesempatan untuk menerbitkan,” tandas mantan Direktur Pelaksanaan Bank Dunia ini.

Sri Mulyani menambahkan, risiko global masih berpotensi meningkat pada sisa tahun ini. Pasalnya, pertumbuhan negara-negara lain, baik negara maju maupun negara emerging markets menunjukkan pelemahan yang cukup mengkhawatirkan. “Inflasi kita terkendali dan kinerja APBN sesuai rencana, tapi kita tetap harus waspada pada beberapa indikator ekonomi yang mengalami perubahan,” tandas Menkeu.

Ancam likuiditas

Ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro memandang, langkah pemerintah melakukan frontloading terbilang wajar. Pemerintah mesti mengantisipasi potensi ketidakpastian pasar secara global yang beragam seperti perang dagang, suku bunga bank sentral AS, hingga potensi perlambatan ekonomi AS maupun negara lainnya.

Frontloading ini sebagai bridging financing, mumpung bunga AS belum naik lagi, kurs rupiah sedang kuat, dan ditengah penerimaan dari sisi pajak yang biasanya juga belum tumbuh tinggi di kuartal-I.” kata Ari, Minggu (25/2).

Kendati demikian, Ari memperingatkan adanya potensi pengetatan likuiditas di tengah kecangnya penarikan utang oleh pemerintah. Ibarat transfusi darah, Ari menyarankan pemerintah segera mengembalikan dana masyarakat yang ditarik agar kembali ke masyarakat lagi.

Salah satu caranya ialah dengan segera menempatkan dana hasil penerbitan SBN di perbankan. “Jadi jangan ditahan di Bank Indonesia, tapi segera ditempatkan di bank-bank besar, sehingga uang beredar dan bisa dimanfaatkan bank untuk menyalurkan kredit,” kata Ari. Dengan begitu, uang pun kembali ke masyarakat sehingga likuiditas bisa tetap terjaga. 

Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyoroti potensi pengetatan likuiditas akibat gencarnya penerbitan surat utang pemerintah. Oleh sebab itu, BI berperan penting untuk menjaga ketersediaan likuiditas di pasar. “Ada potensi tarik menarik dana antara pemerintah dan perbankan, apalagi pertumbuhan kredit diperkirakan masih akan berkisar 10% sampai 12% sepanjang tahun ini,” tandas Josua.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only