Ekonom Ungkap Penyebab Pertumbuhan Ekonomi Mandek di 5 Persen

Jakarta. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menyebut pemerintah dalam lima tahun ini kurang memberikan stimulus padapertumbuhan ekonomi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak bergerak dari posisi 5 persen. 

Ia mengungkapkan berdasarkan penelitian empiris, Indonesia seharusnya mampu tumbuh minimal 6 persen sepanjang 2015 hingga 2017. Namun, faktanya tingkat pertumbuhan hanya berada di kisaran 4-5 persen. 

“Artinya, selama ini Indonesia tumbuh di bawah angka potensial. Berarti pemerintah kurang punya dorongan untuk pertumbuhan ekonomi mencapai tingkat potensial. Tanpa pemerintah Indonesia saja bisa tumbuh 5 persen,” katanya, Rabu (10/4). 

Ia menilai kebijakan ekonomi pemerintah selama ini cenderung salah arah. Setidaknya, menurut dia, ada tiga kebijakan yang mengindikasikan kesalahan arah tersebut. 

Pertama, kebijakan pemerintah menimbulkan crowding out effect yakni aksi berebut dana antara pemerintah dan korporasi dalam menghimpun dana. Kecenderungannya, sektor swasta tidak kebagian lantaran pemerintah menguasai sekitar 85 persen total obligasi di pasar.

Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mematok target penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto sebesar Rp825,7 triliun. Penerbitan tersebut hanya turun 3,59 persen dibanding target APBN 2018 yang mencapai Rp856,49 triliun 

“Akibatnya sektor swasta berkurang sumber dananya. Sehingga sektor swasta yang diharapkan menjadi agen di sektor rill menjadi tidak bisa melakukan ekspansi bisnis. Itu yang menjadi salah satu hambatan pertumbuhan ekonomi tidak bisa lebih dari 5 persen,” jelasnya. 

Kedua, pemerintah belum mengeluarkan insentif fiskal yang berdampak langsung kepada konsumsi, misalnya potongan pajak (tax cut). Pelonggaran fiskal yang selama ini diberikan oleh pemerintah dinilai kurang memberikan dampak langsung kepada konsumsi.

Ketiga, pemerintah dinilainya abai terhadap investasi pada industri manufaktur dan Sumber Daya Manusia (SDM) karena terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur. Sayangnya, pertumbuhan infrastruktur saat ini memiliki tingkat korelasi yang rendah terhadap pertumbuhan industri.

Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan industri yang belum maksimal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) sebesar 5,04 persen pada kuartal III 2018 secara tahunan. Sedangkan pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil (IMK) naik sebesar 3,88 persen. 

Namun, pertumbuhan sektor industri ini masih lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama sebesar 5,17 persen. “Saya masih melihat membangun infrastruktur ya sebagai infrastruktur saja bukan infrastruktur yang bisa menjadi jalan untuk membangkitkan industri,” tuturnya.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun lalu cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Ia mencontohkan, Vietnam tahun lalu mampu 6,6 persen, Myanmar tumbuh 6,4 persen, Filipina tumbuh 6,52 persen, Kamboja tumbuh 6 persen, dan Laos tumbuh 6,79 persen. 

Pertumbuhan Indonesia tahun lalu sebesar 5,17 persen bahkan berada di bawah rata-rata pertumbuhan negara di Asia Tenggara sebesar 5,8 persen.

Sebagai catatan pertumbuhan Indonesia selama lima tahun terakhir berada di angka 4-5 persen. Rinciannya, 5,02 persen di 2014, 4,88 persen di 2015, 5,02 persen di 2016, 5,07 persen di 2017, dan 5,17 persen di 2018.

Sumber : cnnindonesia.com

 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only