Pajak Bunga Obligasi Turun, Ini Dampak ke Reksa Dana

Jakarta – Rencana pemerintah menurunkan pajak penghasilan (PPh) kupon obligasi infrastruktur tentu membuat investor surat utang sedikit happy

Pajak yang seharusnya mereka bayarkan bagi portofolio-nya sebesar 15% berencana, atau lebih tepatnya telah diwacanakan, turun menjadi tinggal 5% oleh pemerintah.  

Aslinya, PPh bunga obligasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No.100/2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Bunga Obligasi.  

Dalam beleid tersebut, bunga obligasi berbentuk bunga dan/atau diskonto untuk Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan Badan Usaha Tetap (BUT) dipatok 15%. 

Besaran itulah yang berencana diturunkan, khusus bagi obligasi infrastruktur. Yang mengeluarkan pernyataan pun tidak tanggung-tanggung.  

Bukan Dirjen Pajak, bukan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang mengurusi efek utang negara, tetapi Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri secara loud and clear (keras dan jelas) di depan wartawan, seakan tidak ada keraguan di dalamnya.  

Karena yang berbicara setingkat menteri, maka keshahihan dan kepastian direalisasikannya rencana tersebut sudah hampir pasti.  

Nah, tinggal detail aturan dan momentumnya yang masih ditunggu. Bisa nanti ketika nota keuangan 16 Agustus, bisa setelahnya, tetapi jangan sampai molor hingga di akhir tahun seperti yang sudah-sudah. 

Meskipun baru informasi awal, dapat diasumsikan bahwa rencana pemerintah menurunkan PPh akan diberikan hanya pada obligasi korporasi BUMN. 

Asumsi itu mengesampingkan obligasi pemerintah (meskipun terkait infrastruktur) karena tentu dampaknya akan terlalu besar bagi pasar dan bagi penerimaan pajak negara. 

Namun, tampaknya tidak seluruh pelaku pasar obligasi gegap gempita dan diuntungkan dari kondisi tersebut. 

Secara sederhana, penurunan pajak bunga obligasi dapat berpengaruh negatif ke industri pengelolaan investasi, yakni para fund manager

Selama ini, pasar reksa dana pendapatan tetap (RD fixed income) dan reksa dana terproteksi (RD proteksi), yang sebagian besar portofolionya berupa obligasi, mendapatkan insentif pajak. 

Reksa dana campuran yang memiliki obligasi di dalam portofolionya juga mendapatkan insentif yang sama.  

Besaran yang masih berlaku untuk kupon obligasi yang dibungkus reksa dana adalah 5%, setara dengan insentif yang berniat diberikan Kemenkeu bagi obligasi korporasi bertema infrastruktur. 

Aturan insentif reksa dana itupun akan berakhir pada 2020, entah diperpanjang atau tidak karena relaksasi sudah pernah dilakukan pada 2014 silam dengan memperpanjang insentif PPh 5% hingga tahun depan. 

Alhasil, besar kemungkinan investor besar dan institusi yang mampu membeli obligasi sendiri tentu akan lebih memilih untuk mengelola sendiri portofolionya karena akan mendapatkan potongan pajak yang sama dibanding menitipkan pengelolaannya pada reksa dana dan fund manager

Sehingga investor berpotensi melepas reksa dana dengan menjual unitnya lalu membeli sendiri obligasi dan memasukkannya ke dalam portofolio. 

Patut diperhatian bahwa per akhir Mei, data OJK menunjukkan dana kelolaan reksa dana pendapatan tetap mencapai Rp 109,51 triliun dan reksa dana terproteksi Rp 133,15 triliun. 

Artinya, dua produk reksa dana yang hampir seluruhnya berisi obligasi itu yang berjumlah total Rp 242,66 triliun dari 1.245 produk, dan berporsi 47,95% dari total reksa dana Rp 506.08 triliun. 

Itupun belum ditambah reksa dana campuran Rp 28,73 triliun yang bisa disertai obligasi, atau reksa dana pasar uang Rp 55,26 triliun yang biasanya memiliki portofolio obligasi negara atau obligasi korporasi yang berumur di bawah setahun.  

Meskipun baru informasi awal yang disampaikan Sri Mulyani, VP Head of Product PT Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengatakan dampak penurunan PPh itu pada industri reksa dana akan kecil. 

“Gangguan [terhadap industri reksa dana] pasti ada, akan ditinggal [oleh investor], tetapi kecil,” ujarnya akhir pekan lalu. 

Belum lagi, yang berkemampuan membeli obligasi langsung adalah investor ritel kaya raya (high net worth individual/HNWI) atau investor institusi, salah satu alasan utama adalah minimal jumlah pembelian yang ekonomis dan efisien di pasar obligasi adalah Rp 5 miliar.

Selain itu, jual-beli reksa dana masih jauh lebih likuid dibanding pasar obligasi karena ada manajer investasi yang menjadi pembeli siaga, terlebih obligasi korporasi yang tidak setiap hari terjadi transaksi di pasar sekunder.

Apalagi, lanjutnya, jumlah obligasi BUMN terkait infrastruktur juga tidak besar. Dari sisi obligasi korporasi, saat ini PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat efek utang korporasi yang tercatat mencapai Rp 407,03 triliun, tidak termasuk sukuk yang lebih sulit penghimpunan datanya. 

Dari jumlah tersebut, obligasi yang diterbitkan BUMN dan anak usaha terkait infrastruktur hanya Rp 68,08 triliun atau berporsi 16,73% dari total konvensional tadi. 

Edbert mengatakan porsi obligasi korporasi BUMN infrastruktur tersebut masih lebih kecil, misalnya daripada obligasi keuangan seperti yang diterbitkan perbankan dan multifinance, sehingga jumlah investornya dan jumlah portofolionya di reksa dana juga tidaklah masif. 

Dia juga mensimulasikan jika investor berniat melepas reksa dana dan berniat membeli langsung obligasi BUMN infrastruktur, maka prosesnya mendapatkan ‘barang’ bukanlah hal mudah. 

“Tidak semudah itu membelinya [obligasi BUMN infrastruktur], investor juga rebutan. Kemungkinan, yang akan lebih terpengaruh aturan itu adalah dana baru di industri reksa dana dan akan mendorong penerbitan efek utang dari BUMN infrastrktur menjadi lebih banyak.” 

Menurut dia, dana baru di industri reksa dana akan lebih terpengaruh karena memiliki pilihan untuk membeli obligasi langsung daripada dana yang sudah ada di industri, meskipun tadi, pilihannya tidak mudah untuk membeli sendiri. 

Penerbitan efek utang oleh BUMN infrastruktur juga dia prediksi akan lebih terpengaruh karena penurunan PPh bunga tentu akan membuat sisi supply, yaitu calon penerbit, dapat menurunkan bunga yang ditawarkan dan karenanya dapat meningkatkan jumlah penerbitan. 

Karena itu, tuturnya, investor obligasi bukanlah pihak yang diuntungkan dari rencana pemberlakuan penurunan PPh.  

Apalagi, jika nanti benar bunga kupon obligasi BUMN infrastruktur turun maka return yang akan diterima investor akan lebih kecil juga dibanding sebelumnya meskipun PPh-nya turun.

Namun, apapun itu nanti detail dari aturan pemangkasan PPh kupon obligasi, rencana pemerintah itu diharapkan mengakomodasi kepentingan industri pengelolaan investasi reksa dana (fund manager) dan sedapat mungkin memikirkan penerapan pajak obligasi domestik di negara tetangga yang lebih rendah. 

Diharapkan juga pemerintah dan BUMN infrastruktur dapat memaksimalkan penurunan pajak kupon obligasi itu direalisasikan dengan pembangunan infrastruktur yang nyata dan berdampak positif, dengan dampak negatif di sisi lain yang tidak besar. 

“In every truth, the beneficiaries of a system cannot be expected to destroy it [Dalam setiap kebenaran, penerima manfaat dari suatu sistem tidak dapat diharapkan untuk menghancurkannya],” ujar pelopor Civil Rights Movement Amerika Serikat pada 1960-an, A. Phillip Randolph.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only