Tahun ini, sektor properti diguyur lima insentif perpajakan

JAKARTA. Sektor properti residensial menjadi salah satu fokus pemerintah dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke depan. Lantas, sejumlah kebijakan insentif digodok dan diterbitkan untuk memicu geliat sektor tersebut.

Sepanjang tahun ini, setidaknya sudah ada lima kebijakan baru dari pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang menjadi insentif bagi sektor properti terkait perpajakan. Apa saja itu?

Pertama, pemerintah telah merelaksasi batas harga rumah yang berhak mendapatkan insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa, dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan PPN.

“Nilai itu dinaikkan sehingga lebih banyak rumah sederhana yang bisa bebas dari PPN, sesuai dengan daerahnya,” terang Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Suahasil Nazara, Jumat (21/6).

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap daya beli masyarakat berpenghasilan rendah bisa terjaga untuk memperoleh rumah.

Kedua, pemerintah membebaskan pengenaan PPN atas rumah atau bangunan milik korban bencana alam. Jadi, bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam baik yang dibiayai pemerintah, swasta, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mendapatkan pembebasan PPN untuk membantu meringankan beban korban yang ingin kembali memiliki rumah tinggal.

Tak hanya segmen bawah, kebijakan insentif dari pemerintah juga ditujukan untuk sektor properti mewah. Kebijakan ketiga adalah relaksasi batasan nilai hunian mewah yang dikenakan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) menjadi Rp 30 miliar. Artinya, hanya hunian mewah yang meliputi rumah, apartemen, kondominium, town house, sejenisnya yang bernilai di atas Rp 30 miliar yang dikenakan PPnBM sebesar 20%.

Kebijakan relaksasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.86/PMK.010/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM. Revisi aturan ini dinyatakan berlaku sejak 10 Juni lalu.

Keempat, pemerintah akan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) 22 untuk hunian mewah yang sebelumnya sebesar 5% menjadi hanya 1%. Rencananya, payung hukum kebijakan ini terbit dalam pekan depan sebagai revisi dari PMK Nomor 90 Tahun 2015 yang merupakan perubahan atas PMK Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang Tergolong Sangat Mewah.

Terakhir, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga melakukan simplifikasi prosedur validasi PPh Penjualan Tanah atau Bangunan. Kebijakan ini sebenarnya sudah efektif sejak tahun lalu melalui terbitnya Peraturan DJP Nomor 28/PJ/2018 sebagai bentuk insentif dari sisi pelayanan.

Dirjen Pajak Robert Pakpahan menjelaskan, beberapa syarat dalam proses validasi setoran PPh Final dipermudah dan dipersingkat. Antara lain, pengembang sebelumnya hanya bisa menyampaikan satu permohonan untuk satu objek properti. Kini, satu permohonan dapat diajukan untuk beberapa objek dan multi pembayaran sehingga semua terlampir dalam satu dokumen saja.

“Selama ini, itu yang dikeluhkan pengembang karena validasi PPh final ini sangat penting untuk proses pengajuan sertifikat kepemilikan properti, jadi kiritikal tapi prosesnya takes time karena satu per satu,” ujar Robert, Jumat (21/6).

Dengan adanya simplifikasi, pemerintah juga memangkas jangka waktu proses validasi setoran PPh final properti tersebut dari yang sebelumnya memakan waktu tiga hari kerja untuk satu dokumen. 

Kini, dalam tiga hari kerja, pengembang bisa menyelesaikan hingga 10 bukti validasi, sedangkan untuk bukti validasi yang lebih banyak hanya membutuhkan waktu paling lama 10 hari kerja.

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only