Sri Mulyani: Perang Dagang Lanjut, Ekonomi Dunia Hanya Capai 3,1 Persen

JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China yang belum selesai akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia.

Pasalnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini terjadi lebih rendah karena risiko-risiko yang sifatnya negatif telah terjadi, yaitu ekskalasi dari ketegangan perdagangan, terutama antara AS dan China. Namun, sebetulnya secara menyeluruh dan munculnya sikap-sikap proteksionisme.

“Disebutkan oleh pertama Christine Lagarde yang menyampaikan dengan adanya risiko perang dagang ini pertumbuhan ekonomi dunia akan turun sebesar 0,5 persen,” kata Menkeu di Osaka, Jepang, seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet RI, Sabtu (29/6/2019).

Menurut Menkeu, dengan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi dunia yang tahun ini sudah 3,5 persen tahun depan diharapkan bisa lebih baik menjadi 3,6. Namun, kenyataannya akan berbeda kalau perang dagang kedua negara tersebut akan terus berjalan. Maka, pertumbuhannya hanya akan mencapai 3,1 persen.

“Jadi, ini risikonya sangat besar,” katanya.

Sri Mulyani menilai, AS dan China masih terlihat ada jarak yang cukup signifikan dari para pimpinan, terutama dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pimpinan negara yang lain.

Apalagi, dalam sambutan Trump menyampaikan bahwa mereka mengungkapkan adanya isu perdagangan yang adil dan adanya timbal balik. Pentingnya memungkinkan level playing field dan tidak ada kebijakan yang dianggap tidak fair.

Dalam hal ini, bahkan digunakan kalimat predatory nation yang bisa memanfaatkan perekonomian AS.

“Ini menggambarkan bahwa di dalam konsep Trump bahwa masih ada negara-negara yang dianggap melakukan praktik-praktik yang dianggap merugikan Amerika Serikat,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Menkeu, Presiden Xi Jinping menganggap bahwa situasi ini disebabkan oleh kebijakan yang memang dibuat oleh suatu negara sehingga keinginan untuk bisa menciptakan win-win solution merupakan fungsi dari keinginan untuk memperbaiki atau menciptakan solusi itu sendiri atau tidak.

Menkeu menilai, semuanya pihak menginginkan adanya reformasi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Meskipun dengan penekanan berbeda-beda dan yang paling penting sekarang adalah reformasi WTO mengenai dispute settlement-nya, mekanisme untuk menangani penyelesaian perselisihan.

Selanjutnya menangani berbagai hal bersifat policy multilateral yang menggunakan policy terdistorsi.

“Saya rasa yang paling penting adalah pada masalah itu. Oleh karena itu, untuk investasi dan masalah trade yang dianggap merupakan bagian dari policy ekonomi dari negara-negara di G-20 yang bisa memengaruhi ekonomi global ini menjadi salah satu isu yang sangat penting,” kata Sri.

Menkeu menuturkan, belum ada kesepakatan bagaimana caranya sehingga ini yang akan menimbulkan ketidakpastian di dalam hasil G-20 sendiri.

Meskipun demikian, masih diharapkan komunikasi bisa mewadahi perbedaan itu di dalam suatu kesepakatan pernyataan bersama dan juga semua mata sekarang melihat bagaimana pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping.

“Masing-masing tentu masih menggunakan retorika yang jelas. China mengatakan kalau kita ingin mencapai win-win solution, itu pasti bisa dilakukan asal kedua-duanya memiliki niat yang baik untuk mendapatkan solusi tersebut. Sementara Trump  masih menganggap perlu tindakan-tindakan untuk dikoreksi,” katanya.

Kedua kepala negara tersebut belum menuntaskan masalahnya terkait parang dagang. Mereka juga menghadiri KTT G-20 di Osaka, Jepang, yang dibuka pada Jumat (28/6/2019).

Sumber : Kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only