Pebisnis Energi Terbarukan Tunggu Insentif Pajak

JAKARTA. Kementerian Keuangan menetapkan dua sektor prioritas akan mendapatkan subsidi pajak pada tahun depan. Kedua sektor itu adalah industri pengeolahan dan investasi energi terbarukan.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, belum bisa menjelaskan secara mendetail skema dan besaran subsidi pajak tersebut. Sebab, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) masih meriview subsidi pajak tersebut. “(Subsisi pajak) Itu termasuk pada tax expenditure,” kata Askolani saat dihubungi KONTAN, Sabtu (29/6).

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Sutijastoto, menjelaskan hasil koordinasi antara Kemkeu dan Kementerian ESDM.” Sektor yang menjadi prioritas adalah panas bumi, PLTA, PLTMH biofuel dan energi terbarukan lainnya,” ungkap dia.

Namun Sutijastoto tak menjelaskan skema dan besaran insentif fiskal itu. Alasannya, hingga kini Kementerian ESDM dan Kemkeu masih melakukan finalisasi.

Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, menyambut baik kebijakan pemerintah mendorong percepatan investasi sektor energi terbarukan. Sebab, untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, pelaku usaha sangat memerlukan stimulus pemerintah. Hingga tahun lalu, target bauran energi terbarukan hanya terealisai 12,42%.

Kendati demikian, Arthur menyebutkan, untuk mengukur seberapa signifikan insentif ini dalam mendorong investasi energi baru, pelaku usaha masih melihat implementasi di lapangan. “Seharusnya trigger positif. Namun apakah di tingkat implementasi betul-betul berjalan atau tidak,” ujar dia.

Tapi Arthur mengakui pengembangan proyek energi baru ini masih menemui banyak kendala, terutama dari sisi finansial akibat penghilangan feed in tariff dan pembatasan tarif Independent Power Producer (IPP) yang tertuang di Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017. “Permen 50/2017 menjadi pukulan telak bagi bankability proyek EBT,” ungkap dia.

Dalam kacamata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, sejatinya instrumen fiskal bukanlah barang baru dalam sektor energi terbarukan. Sebelumnya, Kemkeu pernah memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan untuk sektor energi terbarukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK.011/2010.

Alhasil, efektifitas kebijakan baru ini mesti dilihat dari bentuk subsidi pajak dan waktu pemberlakuan, termasuk bentuk asistensi kepada investor dan pelaku usaha. “Kami mengharapkan subsidi pajak lebih menarik, tepat sasaran dan efektif,” sebu Fabby.

Dia juga menilai tantangan utama investasi energi terbarukan adalah risiko dan pendanaan. Sebab, pemberian insentif fiskal tidak serta merta mendorong investasi energi terbarukan, jika tak diiringi evaluasi regulasi lainnya.

Atas dasar itu, kebijakan Kemkeu harus diiringi evaluasi regulasi dari Kementerian ESDM No. 50/2017 dan Permen ESDM No. 10/2017 serta pokok-pokok kontrak jual-beli antara PLN dengan pengembang.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembangan Listrik Tenaga Air, Riza Husni, Mengakui Permen ESDM 50/2017 menyebabkan izin pembangunan energi terbarukan tidak efektif.” Artinya, insentif apapun yang diberikan tak bermanfaat selama perizinan sulit’” kata dia.

Ketua Asosiasi Panas Bumi, Priyandary Effendi, menilai masalah utama pengembangan energi panas bumi adalah disparitas harga dan kemampuan PLN untuk membeli listrik yang ditawarkan pengembang berdasarkan keekonomian.” Pajak, PNBP dan iuran lainnya menjadi bagian dari cost component yang dihitung dalam keekonomian pengembang,” kata dia.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only