Jakarta. Pemerintah kembali memberikan insentif perpajakan berupa pemangkasan tarif bea masuk. Kali ini, Kementerian Keuangan (Kemkeu) merelaksasi tarif bea masuk gula mentah atau kasar alias raw sugar impor yang berasal dari India.
Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2019 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-India Free Trade Area. Penurunan tarif ini berlaku mulai 8 Juni 2019 lalu.
Dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan tarif bea masuk atas gula tebu dan gula tebu lainnya sebesar 5%. Sebelumnya, formula tarif bea masuk gula tebu menggunakan skema most favoured nation (MFN), yaitu tarif umum Rp 550 per kilogram (kg) atau minimal 10%.
Relaksasi tarif ini bertujuan untuk lebih membuka akses pasar produk Indonesia di India. “Perlu melakukan penyesuaian terhadap tarif bea masuk produk gula kristal mentah dari India dalam kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Republik India,” tulis PMK No. 96/2019.
Penerbitan beleid ini sekaligus menjadi jawaban atas permintaan India untuk menurunkan tarif bea masuk gula impor pada pertengahan tahun lalu. Negeri Gangga ingin produknya bisa bersaing dengan gula milik Thailand dan Australia. Sebab, tarif bea masuk gula negeri gajah putih dan negeri kanguru lebih rendah, yaitu sebesar 5%.
Sebagai balasan atas permintaan India itu, Februari lalu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta India menurunkan tarif bea masuk atas olahan minyak sawit Indonesia. Enggartiasto Lukita meminta India menurunkan tarif bea masuk atas olahan minyak sawit Indonesia. Enggar menyampaikan permintaan ini saat berkunjung ke India.
Enggar meminta tarif bea masuk olahan minyak sawit turun menjadi 45% sama seperti Malaysia. Timbal baliknya, Enggar akan mengupayakan penurunan tarif bea masuk gula mentah India.
Soemitro Samadikoen, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), mengaku kecewa dengan kebijakan pemangkasan tarif bea masuk untuk gula mentah asal India. Menurutnya, hingga saat ini pemerintah belum mengupayakan peningkatan daya saing industri lokal. “Ini akan menjadi persaingan yang tidak sehat antara gula impor dan gula produksi dalam negeri,” kata Soemitro, Jumat (27/6).
Dengan penurunan tarif tersebut, Soemitro mengatakan, keran impor gula akan semakin terbuka lebar. Ini bisa mendorong beberapa pihak tertentu menyalahgunakan kebijakan pemerintah itu. Yakni, dengan memasukkan gula rafinasi impor untuk kepentingan konsumsi. Padahal saat ini, dia menegaskan, kebutuhan gula bisa dipenuhi oleh produksi gula dalam negeri.
Sebaliknya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman menyambut baik relaksasi tersebut. Sebab, pemangkasan tarif bea masuk bisa menekan biaya produksi pengusaha yang menggunakan bahan baku gula mentah. “Diharapkan bahan baku gula bisa lebih murah dan meningkatkan daya saing,” ujar Adhi kepada KONTAN.
Dengan penurunan tarif bea masuk tersebut, ADhi menambahkan pengusaha juga bisa memiliki alternatif sumber bahan baku gula, selain mengimpor dari Thailand. Selama ini memang, pasar gula mentah di dalam negeri dikuasai oleh impor Thailand.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Thailand menguasai impor gula kita, baik dari sisi volume maupun nilai pada 2017 lalu. Impor gula dari Thailand mencapai US$ 48,9 juta atau 85,9% dari total nilai impor gula 2017. Sementara volume impor gula dari Thailand sebanyak 97,3 ton. Angka ini setara 89% dari seluruh volume impor gula kita.
Sumber : Harian Kontan
Leave a Reply