Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai bahwa meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China tak akan berdampak bagi Indonesia. Sebaliknya, defisit perdagangan Indonesia justru akan semakin melebar hingga USD 10 miliar.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang AS-China masih berisiko mengalami eskalasi di tengah upaya Presiden Donald Trump memainkan strategi politiknya jelang Pilpres AS 2020.
Positioning China yang masih bertahan juga disebutnya menyulitkan Negeri Paman Sam untuk menghasilkan kesepakatan yang win-win solution.
“Dampaknya kinerja ekspor Indonesia masih akan tertekan sampai akhir tahun. Defisit perdagangan diperkirakan menembus USD 10 miliar. Lebih tinggi dari tahun 2018 lalu di USD 8,5 miliar,” ungkap dia kepada Liputan6.com, Senin (1/7).
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan RI pada Mei 2019 mengalami surplus hingga USD 210 juta. Akan tetapi, Bhima menuturkan pencapaian itu hanya bersifat temporer.
“Surplus kemarin cuma temporer, lebih disebabkan anjloknya impor bahan baku dan barang modal karena industri mengurangi kapasitas produksi. Jadi kecil kemungkinan akan surplus lagi,” ujar dia.
Dia pun menjelaskan, pokok masalah utama saat ini adalah bea tarif masuk. Dalam hal ini, Trump menyatakan masih ada potensi AS untuk tetap melanjutkan kenaikan bea masuk dan pajak yang jumlahnya mencapai USD 350 miliar.
“Selama tarif bea masuk belum diturunkan signifikan, permintaan bahan baku dan komoditas dari Indonesia untuk manufaktur AS dan China akan menurun,” tegas dia.
Menurutnya, kunci bertahan di era perang dagang adalah membuat insentif pajak dan non-pajak bagi industri yang mau lakukan relokasi atau peningkatan basis produksi di indonesia.
“Contohnya ekspor tekstil dan pakaian jadi justru meningkat ordernya. Pemerintah tinggal melakukan pemetaan industri apa yang potensial dan jemput bola tawarkan insentif. Jangan terlambat karena Vietnam sudah gencar jemput bola ke perusahaan yang berbasis di China,” imbuhnya.
“Bagi sektor yg terkena imbas negatif misalnya komoditas sawit, karet, batubara, perlu didorong serapan domestiknya. Program B20 bisa dipercepat implementasinya dengan gandeng PLN untuk bahan bakar pembangkit tenaga diesel,” dia menandaskan.
Sumber : merdeka.com
Leave a Reply