Pangkas Tarif Pajak Besar-besaran

Pemerintah menyiapkan insentif pajak untuk ragam sektor usaha, demi menarik investasi dan mendongkrak investor.

Kabar yang berembus dari kantor pajak tak selalu membikin wajib pajak meringis. Juga ada warta yang membuat tersenyum terutama bagi para pelaku usaha.

Bagaimana tersenyum tidak mengembang ? Pemerintah berencana melakukan pemangkasan pajak besar-besaran dalam beberapa sektor usaha. Keputusan ini lahir dalam rapat kabinet terbatas yang membahas terobosan investasi, ekspor, dan perpajakan di Kantor Presiden pada 19 Juni 2019 lalu.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Keuangan (Kemkeu) memberikan lebih banyak fasilitas. Tapi, tidak sekadar instrumen, yang lebih penting bisa berjalan di lapangan.

Pemerintah melakukan terobosan perpajakan itu untuk meraih investasi sekaligus mendongkrak ekspor sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, ekonomi di dalam negeri bisa bergulir lebih kencang.

Guyuran insentif perpajakan juga terungkap dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020. Pemerintah bakal meningkatkan anggaran insentif pajak bagi dunia usaha pada tahun depan. Bujet ini ada dalam pos belanja pajak alias tax expenditure. Nilai totalnya mencapai Rp 155 triliun.

Kendati begitu, angka itu masih bisa berubah, “Kami juga bisa memilih uang Rp 150 triliun tersebut mau dibelanjakan kemana untuk fasilitas perpajakan supaya dampaknya paling besar,” kata Sri Mulyani.

Tanpa perlu menunggu tahun depan, sebagian insentif pajak sudah bisa pelaku usaha nikmati. Contohnya, di sektor properti. Pemerintah memangkas pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk hunian mewah, dari 5% menjadi 1%. Ini berlaku bagi rumah tapak beserta tanah dengan nilai lebih dari Rp 30 miliar, dan luas bangunan di atas 400 meter persegi (m2).

Bukan cuma rumah tapak, aturan main itu pun berjalan buat apartemen, kondominium, dan hunian vertikal lain dengan harga jual serupa. Luas bangunan juga lebih dari 400 m2.

Ketentuannya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. Beleid ini berlaku 19 Juni lalu.

Sepekan sebelumnya, pemeritah mengubah ketentuan batasan nilai hunian mewah yang kena pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dari Rp 5 miliar sampai 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Artinya, hanya hunian mewah (PPnBM), dari Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Artinya, hanya hunian mewah yang meliputi rumah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya yang bernilai di atas Rp 30 miliar yang bernilai di atas Rp 30 miliar yang terkena pungutan PPnBM 20%.

Kebijakan relaksasi ini termaktub dalam PMK No. 86/PMK.010/2019 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM. Perubahan aturan ini bergulir 10 Juni lalu.

Selain properti, pemerintah juga memiliki agenda pemangkasan pajak segmen lain. Sebut saja, menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha. “Rate-nya turun 20%,” ungkap Sri Mulyani. Saat ini, tarif PPh badan sebesar 25%.

Agenda berikutnya, pemerintah bakal membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk maskapai yang menyewa jasa pesawat luar negeri. Tujuannya, agar perusahaan penerbangan lokal bisa semakin kompetitif dengan maskapai asing.

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu, mengatakan, lembaganya tengah melakukan finalisasi atas revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 69/2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut PPN.

Toh Suahasil menampik, jika upaya tersebut merupakan bagian dari strategi pemerintah menurunkan harga tiket pewasat yang beberapa bulan terakhir kelewat mahal. “Yang jelas, revisi ini sudah jauh hari, berkaitan dengan daya saing airlines kita,” ujarnya.

Selanjutnya, super deductible tax atau pengurangan pajak hingga 200% dari nilai investasi. Ini berlaku bagi perusahaan yang berinvestasi dalam program pendidikan vokasi serta penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi. “Aturannya terbit dalam waktu dekat,” imbuh Suahasil.

Selain itu, pemerintah akan kembali memberikan pembebasan dan pengurangan pajak selama periode tertentu (tax holiday dan tax allowance). Yang berhak menikmati insentif ini dalah industri yang masuk kategori industri pionir.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan, berbagai insentif tersebut untuk menggerakkan ekonomi biar lebih bergairah. Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3%.

Upaya untuk mengejar target itu tidak mudah, mengingat kondisi perekonomian global yang sedang tidak kondusif di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China. “Itu jadi alasan, latar belakang perlu ada pemberian berbagai stimulus fiskal,” jelas Robert.

Tidak terlalu berefek

Kendati menggunting tarif pajak, pemerintah mengklaim, berbagai insentif itu tidak bakal menggerus penerimaan negara secara signifikan. Contohnya, insentif sektor properti.

Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, menuturkan, belanja perpajakan untuk sektor properti mewah tidak akan membuat jebol realisasi penerimaan pajak. Soalnya, kebijakan tersebut bertujuan untuk membuat pasar properti menggeliat. “Insentif sektor properti, kan, punya multiplier effect yang tinggi ke sektor lain,” ucapnya.

Perkiraan belanjaan perpajakan dari pemangkasan PPh 22 dari 5% menjadi 1% hanya sebesar Rp 126,9 miliar di tahun ini. Lalu, estimasi tax expenditure untuk penyesuaian ambang batas harga jual rumah yang kena PPnBM pada tahun ini cuma senilai Rp 51 miliar. Jadi, “Secara keseluruhan, tax expenditure atas kebijakan ini tidak terlalu signifikan terhadap penerimaan pajak. Namun, kebijakan ini diharapkan bisa meningkatkan poduksi dan penjualan properti,” kata Hestu.

Menilik PPnBM sektor properti, memang tampak tren penurunan, memang tampak tren penurunan jumlah setoran pajak untuk segmen hunian dengan harga jual di bawah Rp 30 miliar dalam tiga tahun terakhir. Sementara setoran PPnBM untuk harga jual di atas Rp 30 miliar bergerak naik stabil.

Pemerintah menjamin, pemberian insentif pajak sesuai dengan permintaan dan kelayakan investor.

Pada 2016, misalnya setoran PPnBM properti dengan harga jual di bawah Rp 30 miliar sebesar Rp 108 miliar. Selanjutnya, setorannya konsisten turun jadi Rp 83 miliar pada 2017dan Rp 62 miliar di 2018. Sementara setoran PPnBM properti dengan harga jual di atas Rp 30 miliar, konsisten naik. Pada 2016, jumlahnya sebesar Rp 14 miliar dan meningkat signifikan di 2017 menjadi Rp 18,9 miliar. Pada 2018, setoran PPnBM naik tipis jadi Rp 19,3 miliar. “Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan total PPnBM hunian mewah menurun karena ada penurunan penjualan, hingga butuh dukungan kebijakan fiskal,” tegas Hestu.

Harus konsisten

Mendapat banyak guyuran insentif pajak, pengusaha sumringah terutama pebisnis properti. Apalagi, Totok Lusida, Sektretaris Jenderal Real Estate indonesia (REI), mengatakan, insentif untuk sektor properti punya multiplier effect. “Pasti, insentif ini menggairahkan. Lihat saja, harga saham perusahaan properti banyak mengalami kenaikan,” beber dia.

Menurut Totok, perpajakan merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi penjualan properti. Terbukti, sejak mendapat insentif, permintaan terus meningkat. Penjualan yang langsung naik adalah hunian harga di atas Rp 5 miliar.

Totok mengklaim, insentif tersebut langsung berefek positif ke industri properti karena memang tidak sulit mengaksesnya. Terlebih, saat ini hampir semua pelayanan pajak bisa dilakukan dalam jaringan (daring). “Dengan ada insentif, banyak orang yang sekarang mau melapor pajak. Apalagi, bayar pajak sekarang mudah, bisa secara online,” ujarnya.

Sanny Iskandar, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi, mengakui, tidak sulit bagi pengusaha mengakses insentif perpajakan tersebut. Pelaku usaha tinggal menyesuaikan saja dengan peraturan perundang-undangan yang ada. “Kalau yang sifatnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan, itu tidak ada kesulitan. Karena, kan, semuanya akan ikut secara sistem,” imbuh Sanny.

Tapi, kalangan pengusaha tetap mewanti-wanti pemerintah, agar konsisten dalam mengimplementasikan semua aturan insentif pajak. “Implementasi di lapangan lebih penting,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutun Rahanta.

Sebab, Tutum menambahkan, insentif tidak akan diminati selama para pengusaha sulit mengaksesnya. Tambah lagi, masih banyak hambatan berusaha di luar perpajakan.

Suahasil menjamin, berbagai insenti pajak yang pemerintah berikan sesuai dengan permintaan dan kelayakan perusahaan atau investor yang meminta stimulus tersebut. Toh, investor bisa dengan mudah menilai kelayakan mereka sendiri berdasarkan peraturan perundang-udangan yang ada. “Kalau memang layak, ya, dikasih. Makin banyak yang minta, ya, makin banyak dikasih selama memenuhi kriteria perundang-undangan, ya,” tegasnya.

Ya, jangan sampai taburan insentif perpajakan kali ini selpi peminat seperti penawaran tax holiday sebelumnya.

Sumber : Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only