Penerimaan Pajak Hadapi Tantangan Berat

JAKARTA — Kinerja penerimaan pajak bakal menghadapi tantangan berat seiring dengan rencana pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dan belum efektifnya pemungutan PPN

Rencana pemangkasan tarif PPh korporasi tersebut diperkirakan menimbulkan potensi kehilangan penerimaan pajak alias potential loss senilai Rp87 triliun.

Dengan risiko berkurangnya penerimaan tersebut, dalam jangka pendek pemerintah akan menyesuaikan target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Langkah ini diperlukan karena penerimaan PPh badan merupakan salah satu penopang penerimaan PPh nonmigas. Dengan realisasi penerimaan sebesar Rp109,08 triliun, penerimaan PPh badan menyumbang 21,9% dari total penerimaan pajak Mei 2019.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyebut bahwa potensi berkurangnya pendapatan pajak tengah menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun target APBN. Oleh karena itu, pemerintah saat ini terus melakukan simulasi berbagai dampak yang kemungkinan akan terjadi jika kebijakan tersebut jadi diterapkan.

“Ini yang saat ini sedang dilakukan simulasi terus menerus,” ungkap Yoga, Kamis (4/7).

Meski demikian, Yoga menyebut pemangkasan tarif PPh korporasi tak selamanya memiliki tendensi negatif terhadap penerimaan pajak. Bagi otoritas pajak, dalam jangka panjang pemangkasan tarif akan meningkatkan daya saing dan diharapkan mampu mendorong kinerja investasi.

Dengan naiknya investasi, lapangan usaha akan terbuka lebar yang secara otomatis akan mendorong peningkatan penerimaan pajak dari aspek PPh 21 atau PPh kar yawan, PPh pemotongan dan pemungutan, PPN, serta penerimaan negara dalam bentuk lainnya.

Di samping itu, otoritas pajak juga mempertimbangkan untuk mengoptimalkan basis data yang cukup besar. Reformasi pajak akan terus dilakukan baik dari sisi perbaikan proses bisnis, pelayanan, maupun pengawasan. Efektivitas pemanfaatan data-data akan mendorong kepatuhan wajib pajak.

“Ujung-ujungnya juga akan membantu kita dalam mendorong penerimaan pajak,” tegasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu mengungkapkan akan menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 20%. Penurunan tarif tersebut merupakan salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk menggenjot investasi dan daya saing berusaha di Indonesia.

Apalagi, dalam catatan Bisnis, tarif PPh badan Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura yang tarif PPh korporasinya pada angka 17%.

PEMUNGUTAN PPN

Di pihak lain, kinerja penerimaan pajak juga dihadapkan pada belum efektifnya pemungutan PPN.

Dalam hitungan Bisnis dengan menggunakan tiga skema, efektivitas pemungutan PPN saat ini belum sepenuhnya optimal. Pertama, skema VAT ratio. Dengan penerimaan PPN pada 2018 sebesar Rp538,2 triliun dan posisi PDB pada angka Rp14.837,4 triliun,VAT ratio pada tahun lalu hanya 3,6%.

Meski lebih baik dibandingkan dengan 2017, tetapi realisasi ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya 2015 yang mencapai 3,67% dan 2014 sebesar 4,05%.

Kedua, untuk VAT effi ciency ratio dengan formula di atas, angkanya masih pada kisaran 36,2%. Angka itu mengonfi rmasi bahwa penerimaan PPN hanya 36% dari potensi yang dihitung berdasarkan PDB.

Ketiga, skema VAT gross collection ratio dengan tarif PPN 10% dan konsumsi rumah tangga yang berada pada angka Rp8.269,8 triliun yakni berada pada angka 65,08%. Artinya, pemungutan PPN yang dilakukan oleh Ditjen Pajak, hanya bisa mencakup 65,08% dari total potensi penerimaan yang ada. Padahal rata-rata internasional bisa berada pada kisaran 70%.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengungkapkan bahwa ada banyak sebe- narnya parameter yang digunakan untuk mengukur efektivitas penerimaan PPN.

Namun demikian, tidak semua skema bisa diterapkan dalam penghitungan tersebut, apalagi di setiap negara kebijakan yang diterapkan juga berbeda-beda. “Ya jadi dalam kebijakan itu kan enggak terus 10% dikalikan dengan PDB, kan ada kebijakan pengecualian juga,” ungkap Yon kepada Bisnis , Selasa (2/7).

Yon menambahkan bahwa seperti yang telah disampaikan di DPR, proses pemungutan PPN yang belum optimal bisa disebabkan oleh dua hal yakni compliance gap dan policy gap.

Dia kemudian menjelaskan, dengan penerimaan PPN kurang lebih Rp540 triliun dan tax expenditure PPN pada angka Rp125 triliun, total penerimaan PPN yang seharusnya diterima otoritas pajak pada 2018 ada pada kisaran Rp665 triliun.

“Banyak kajian yang bisa mengukur efektivitas pemungutan, tetapi itu kan hanya estimasi,” tegasnya.

Adapun sampai dengan Mei 2019, penerimaan PPN tercatat masih terkontraksi pada level minus 4,4%. Pemerintah beralasan penyebab lesunya kinerja penerimaan PPN disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang mempercepat proses pencairan restitusi.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mempertanyakan alasan pemerintah yang selalu menyebut percepatan restitusi sebagai penyebab melemahnya kinerja penerimaan PPN.

Padahal, menurutnya, dengan naiknya PDB, seharusnya kinerja PPN juga akan terus meningkat. Andreas menjelaskan, sebagai gambaran, PDB 2018 yang mencapai Rp14.837,4 triliun, dengan PDB yang selalu meningkat penerimaan PPN bisa melebihi tren yang selama ini hanya pada kisaran Rp500 triliun.

“Ini apakah karena compliance gap, atau memang karena keberadaan exemption,” ungkapnya dalam rapat dengan Menkeu, Selasa (2/7).

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only