KOMPAS – Keresahan itu mengemuka dalam pertemuan para pejabat keuangan dan moneter G-20 di Fukuoka, Jepang, Sabtu (8/6/2019). Mayoritas negara berharap ada mekanisme baru agar perusahaan berbasis teknologi membayar pajak lebih proporsional.
“Pertumbuhan (pendapatan perusahaan teknologi) terus berlipat, tetapi kita tidak merasakannya, baik dalam pertumbuhan domestik bruto (PDB) maupun pendapatan pajak,” kata Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, dalam pertemuan itu. (Kompas, 9/6/2019)
Sejumlah perusahaan bahkan disebut menyiasati pajak selama bertahun-tahun. Mereka membuka kantor di banyak negara dan mengirimkan pendapatannya ke beberapa negara suaka pajak. Cara itu membuat mereka membayar pajak amat rendah di negara-negara tempat mereka beroperasi dan meraup keuntungan besar.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya dengan memaksa mereka memiliki badan hukum di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap (BUT). Ketentuan itu mewajibkan semua unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak luar negeri.
Akan tetapi, ketentuan itu dinilai belum efektif karena merujuk aturan perpajakan konvensional. Sementara model bisnis perusahaan digital beroperasi lintas negara dan tidak mengenal yurisdiksi fisik. Selain itu, sistem pajak internasional yang jadi ”aturan main” pemajakan masih bertumpu pada status BUT dengan mengandalkan kehadiran fisik.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Poltak Maruli John Liberty Hutagaol di Jakarta, Jumat (5/7/2019), mengatakan, pemajakan atas kegiatan ekonomi digital yang dilakukan perusahaan lintas negara menghadapi tantangan. Sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang norma dan standar pajak atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital.
Menurut dia, tim perumus yang beranggotakan perwakilan 129 negara masih berunding. “Isu menyangkut ekonomi digital sangat luas dan menyangkut persoalan tumpang tindih hak perpajakan antarnegara dan pemajakan secara adil, ” kata dia.
Meski
demikian, setiap negara diperbolehkan memungut pajak pertambahan nilai
(PPN) sembari menunggu konsensus global. Skema PPN dianggap lebih mudah
dibandingkan pajak penghasilan (PPh) karena mengacu prinsip tempat
tujuan (destination principle). PPN dipungut di negara tempat jasa atau
layanan digital dilakukan.
Sejauh ini belum ada konsensus global untuk memajaki perusahaan penyedia layanan gratis lintas negara.
Menurut
Poltak, skema PPN cocok diterapkan di Indonesia karena tidak harus
mengubah undang-undang. Beberapa negara sudah memungut PPN atas kegiatan
ekonomi digital, seperti Australia, Jepang, dan Singapura. Indonesia
sedang mempersiapkan teknis pelaksanaannya agar bisa berlaku dalam waktu
dekat.
Pasar besar
Negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) melalui dokumen konsultasi publik “Addressing The Tax Challenges of The Digitalisation of The Economy” (Februari 2019) menyebut dua pilar kebijakan merespons tantangan pajak ekonomi digital.
Pertama soal alokasi pajak yang menginginkan alokasi yang lebih besar ke negara-negara pasar tanpa memperhatikan kehadiran fisik. Kedua terkait penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak melalui sistem pajak minimum.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, konsekuensi penyusunan aturan baru butuh waktu lama dan lobi-lobi politik yang tidak mudah. Oleh karena itu, pada tahap awal pemerintah dapat menerapkan skema PPN berdasarkan konsumsi konsumen. Skema ini tidak memerlukan revisi undang-undang dan cukup dengan peraturan menteri.
Skema PPN menyasar transaksi business to business (B2B) bernilai besar. PPN bisa dipungut terhadap layanan digital berbayar atau berlangganan yang dibebankan ke konsumen. Meski demikian, skema PPN memiliki kelemahan karena tidak bisa dikenakan untuk transaksi business to customer (B2C) seperti yang ditawarkan Google dan Facebook.
Sejauh ini belum ada konsensus global untuk memajaki perusahaan penyedia layanan gratis lintas negara. Namun, konsensus global diharapkan mulai bisa dilaksanakan tahun depan.
Dengan jumlah penduduk dan pengguna internet yang besar, Indonesia merupakan pasar utama perusahaan penyedia layanan konten dan aplikasi internet. Laporan Google-Temasek berjudul ”e-Conomy SEA 2018”, nilai ekonomi internet Indonesia yang dilihat dari nilai kotor penjualan barang (gross merchandise value/GMV) mencapai 27 miliar dollar AS pada 2018. Angka itu tumbuh 49 persen dibandingkan tahun 2015 dan merupakan pertumbuhan tertinggi di kawasan. Pada tahun 2025, nilainya diperkirakan akan mencapai 100 miliar dollar AS.
Jumlah pengguna internet di Indonesia juga tumbuh pesat. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pengguna internet di Indonesia mencapai 171 juta jiwa tahun lalu, bertambah sekitar 28 juta jiwa dibandingkan setahun sebelumnya yang 143,26 juta jiwa. Penetrasi internet mencapai 64,8 persen tahun 2018 atau naik 10,12 persen dibandingkan tahun 2017 yang 54,68 persen.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Information Communication Technology Institute Heru Sutadi berpendapat, perekonomian yang digerakkan oleh transaksi digital akan semakin berkembang. Oleh karena itu, Indonesia harus mempunyai strategi jitu untuk mengambil manfaat dan bukan sekadar jadi negara pasar.
Sumber : Harian Kompas
Leave a Reply