JAKARTA – Pemerintah perlu memprioritaskan pemungutan pajak terhadap barang-barang konsumsi asal luar negeri atau impor yang diperdagangkan dalam ekonomi digital atau e-commerce. Sebab, potensi pajak barang impor yang ditransaksikan di e-commerce sangat besar.
“Kalau di dalam negeri, saya rasa tidak perlu pembebanan seperti itu karena untuk mendorong UMKM di dalam negeri juga bagaimana mereka masuk ke dalam market place. Yang perlu dikejar adalah barang-barang impor yang ditujukan untuk konsumsi,” ujar Pengamat dari Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, dikutip dari Antara, Senin (8/7).
Andry mengatakan selama ini barang impor konsumsi yang dijual melalui platform digital, seperti media sosial sulit ditelusuri, baik dari segi jumlah transaksi penjualan, asal barang, maupun distribusi. Kesulitan pelacakan itu akan menjadi potential loss atau kebocoran penerimaan pajak yang seharusnya bisa ditarik oleh pemerintah guna menambah penerimaan negara.
“Kemarin sebetulnya sudah ada wacana dan PMK-nya (Peraturan Menteri Keuangan) juga mau diterbitkan tapi urung (diterbitkan), karena pada saat itu lagi ramai politik dan sebagainya. Tapi menurut saya, ini perlu dikeluarkan karena salah satu penghasilan potensial dari start-up digital,” papar dia.
Pembebanan pajak bagi ekonomi digital khususnya barang impor konsumsi juga dapat menjadi jembatan untuk memproteksi keberadaan produk buatan dalam negeri. Di sisi lain, pemerintah didorong untuk mengeluarkan kebijakan mengenai keringanan pajak bagi para bisnis rintisan yang berbasis teknologi (start-up) terutama UMKM dalam negeri agar bisa terus berkembang.
“Ini yang menjadi permasalahan kalau misalnya e-commerce tidak dipajakin, ke depan barang impor akan leluasa untuk masuk, sebenernya ini menjadi tidak baik,” kata dia.
Dia pun memandang potensi pajak dari e-commerce sangat tinggi di tengah perubahan pola jual beli masyarakat. Kekhawatirannya yakni konsumen berpindah dari market place ke non market place seperti media sosial karena ingin terhindar dari beban pajak.
“Permasalahan awal karena adanya ketidakadilan di ritel ketika memandang e-commerce yang tidak membayar pajak. Ritel sudah membangun toko offline dan dia sudah membayar pajak. Pajaknya juga berbagai macam. Karena dia membangun toko offline, dia juga harus membayar pajak untuk toko offline tersebut,” kata dia.
Belum Optimal
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengupayakan pendekatan memungut pajak dari kegiatan ekonomi digital yang selama ini belum dilakukan optimal untuk menambah penerimaan negara. “Untuk perusahaan yang dianggap digital, teman-teman pajak punya basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan nanti disepakati,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menegaskan upaya ini harus dilakukan karena setiap kegiatan ekonomi di Indonesia harus dipungut pajak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sumber : koran-jakarta.com
Leave a Reply