Awas, Bumerang Insentif Pajak

JAKARTA – Agresivitas pemerintah dalam menerbitkan insentif pajak berisiko memperlebar gap penerimaan. Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki kebijakan khusus untuk memitigasi risiko yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut.

Berdasarkan catatan Bisnis , selama 2 bulan terakhir pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan yang diharapkan akan mendorong kinerja investasi.

Pertama, beleid terkait dengan perubahan baseline pengenaan PPnBM bagi rumah atau properti mewah. Kedua, penurunan PPh pasal 22 hunian mewah dari 5% menjadi 1%. Ketiga, simplifi kasi prosedur validasi PPh penjualan tanah dan bangunan dari 15 hari menjadi 3 haru.

Keempat, relaksasi pengenaan deemed divident dalam Controlled Foregin Company (CFC) rule yang hanya menyasar pendapatan pasif. Kelima, PP No.45/2019 yang memberikan diskon pajak besar-besaran kepada para pelaku usaha khusunya yang berinvestasi di sektor padat karya, vokasi, serta riset dan pengembangan.

Di satu sisi, kinerja pertumbuhan penerimaan pajak per Mei kemarin hanya mencapai 2,4%. Lesunya kinerja penerimaan ini merupakan imbas dari pelaksanaan kebijakan percepatan restitusi yang kemudian menekan penerimaan PPN hingga minus 4,4%.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara tidak menjelaskan secara detail mengenai langkah-langkah yang disiapkan otoritas fi skal untuk menekan risiko di sektor penerimaan dalam jangka pendek akibat pelaksanaan kebijakan tersebut.

“Jadi mitigasinya adalah di dalam mengelola APBN secara keseluruhan. Jadi tidak bisa dilihat secara sepotong-sepotong,” ungkap Suahasil kepada Bisnis, Selasa (9/7).

Konsep pengelolaan APBN, menurut Suahasil, tidak hanya melihat aspek penerimaan semata. Pasalnya, sebagai sebuah kesatuan, pemerintah akan selalu melihat keseimbangan antara penerimaan, pengeluaran, maupun pembiayaan.

Konsep pengelolaan APBN tidak hanya melihat aspek penerimaan semata.

Risiko hilangnya penerimaan tercatat dalam laporan belanja pajak 2017 yang diterbitkan tahun lalu.

Dia mencontohkan, ketika penerimaan pajak mengalami penurunan kinerja, pemerintah akan melihat dari sisi pengeluaran. Jika realisasi pengeluaran cukup tinggi, otoritas akan mempertimbangkan strategi untuk melakukan efektivitas dengan risiko adanya efisiensi dari sisi pengeluaran.

“Jadi ketika dikelola, itu kami tidak reaktif misal pajaknya shortfall sekian, ya enggak. Itu satu kesatuan,” tegasnya. Suahasil menambahkan, setiap kebijakan yang diambil pemerintah akan selalu memperhitungkan efek baik maupun buruknya ke pengelolaan fiskal maupun perekonomian.

Penerbitan insentif yang dilakukan pemerintah ini, kata dia, semata-mata untuk mendorong kinerja perekonomian yang menunjukan adanya pelemahan.

Berdasarkan catatan Bisnis, risiko hilangnya penerimaan akibat pelaksanaan kebijakan pemerintah tercatat dalam laporan belanja pajak atau tax expenditure 2017 yang diterbitkan tahun lalu.

Laporan itu mengungkapkan, sebagian besar belanja pajak pemerintah masih didominasi PPN dengan nilai Rp125,3 triliun dari total Rp154,6 triliun.

Sementara itu, PPh tercatat hanya senilai Rp20,1 triliun. Angka ini mengindikasikan bahwa belanja pajak masih banyak digunakan di sektor konsumsi.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menyebut adanya risiko hilangnya penerimaan pajak dari insentif dan relaksasi tersebut perlu diperhitungkan sebagai penyesuaian target penerimaan supaya selaras.

Kendati demikian, dia menekankan bahwa insentif pajak sangat selektif diberikan kepada wajib pajak (WP), baru setelah proses seleksi diperoleh WP dengan kriteria tertentu baik berdasarkan nilai, sektor, jenis kegiatan, maupun lokasi.

“Jadi sifatnya tetap selektif dan tidak berlaku umum sehingga potensi penerimaan yang hilang [revenue forgone] dari pemberian insentif jauh lebih terkontrol, dan di sisi sebaliknya ada trade off dengan investasi di sektor atau kegiatan yang bisa memberikan efek pengganda ke perekonomian,” jelasnya.

Mengenai efektivitasnya dalam menarik investasi, menurutnya, bukan hanya faktor pajak yang menjadi daya tarik. Secara empiris, pemberian insentif baru akan memberikan daya tarik kuat ketika faktor-faktor iklim investasi yang lebih fundamental sudah dibenahi.

Namun demikian, menurut Bawono, hal ini harusnya tidak diartikan bahwa insentif pajak akan sia-sia. Insentif te- tap perlu diberikan di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu (sebagai sinyal kepada investor) dengan diimbangi dengan pembenahan di sektor lain se- perti ketenagakerjaan, birokrasi, hingga infrastruktur supaya daya dorong insentif bagi investasi semakin besar.

“Ya harusnya adanya revenue forgone dari insentif dan relaksasi tersebut kemudian perlu diperhitungkan sebagai penyesuaian target penerimaan. Agar selaras,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan akan segera merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) turunan dari PP No.45/2019 dalam waktu satu pekan.

“Bisa selesaikan satu minggu dan nanti diumumkan dari sisi operasionalisasi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dia mengatakan, dikeluarkannya PP No. 45/2019 sesuai dengan aspirasi dari Kementerian Keuangan serta pelaku usaha di mana pemerintah memberikan insentif bagi usaha-usaha yang melakukan riset serta vokasi.

TAX RATIO

Di sisi lain, pemerintah dan DPR menyepakati penerimaan pajak mencapai 10,57%-11,18% dari PDB.

Dari Pendahuluan RAPBN 2020, masih belum diketahui besaran tax ratio yang dipatok oleh pemerintah. Meski demikian, dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2020 menargetkan tax ratio di angka 11,8%-12,4%.

Tax ratio dalam KEM PPKF 2020 tersebut tidak jauh berbeda dibandingkan dengan target dalam APBN 2019 yang mencapai 12,2%

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai cukup berat bagi pemerintah untuk mencapai target tersebut. Menurut proyeksinya, tax ratio tahun ini kemungkinan hanya akan mencapai 11,6%.

“Proyeksi kami, tanpa effort yang lebih besar dan tren sama dengan semester 1/2019, tahun ini hanya mencapai 89,4%- 92% [dari target],” katanya kepada Bisnis.

Yustinus mengatakan bahwa pemerintah baru bisa mencapai tax ratio sebesar 12% pada 2020 apabila perpajakan tumbuh secara konsisten. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan kebijakan pajak yang lebih sistematis.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only