Insentif Jadi Daya Tarik

JAKARTA – Pelaku usaha mengapresiasi setiap bentuk dukungan, termasuk insentif fiskal, yang bisa meningkatkan daya saing industri nasional. Insentif juga dinilai dapat menjadi daya tarik investasi, termasuk di sektor industri padat karya.

“Insentif untuk vokasi, misalnya, saat ini masih sangat diperlukan industri alas kaki,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia Firman Bakri ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (10/7/2019).

Apalagi, tambah Firman, banyak industri alas kaki yang masuk ke beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain ke Majalengka dan Sukabumi. Di sisi lain, ketersediaan tenaga kerja terampil di sektor alas kaki di wilayah tersebut belum mencukupi.

Program dari Kementerian Perindustrian yang mencakup pelatihan, sertifikasi, dan penempatan tenaga kerja dinilai membantu industri merekrut tenaga kerja baru terampil.

“Dengan insentif super deduction tax atau insentif vokasi, akan semakin membantu industri-industri, khususnya di daerah baru,” kata Firman.

Firman menuturkan, industri alas kaki, terutama yang berorientasi ekspor, mutlak didukung penelitian dan pengembangan. Hal itu untuk memberi standar produk yang memenuhi kebutuhan global.

“Pemberian insentif penelitian dan pengembangan kami harapkan dapat menarik pembeli mengembangkan kegiatan riset pengembangan di Indonesia,” kata Firman.

Menurut Firman, efektivitas insentif super deduction tax bagi dunia usaha akan terlihat dari Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini masih diproses.

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menuturkan, Indonesia membutuhkan investasi penyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. “Agar Indonesia dapat menikmati bonus demografi, bukan tertimpa beban demografi,” kata Hariyadi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia per Februari 2019 sebesar 5,01 persen. Adapun dari 129,36 juta penduduk yang bekerja, sekitar 40,51 persen berpendidikan sekolah dasar.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, jika serius meningkatkan daya saing industri padat karya, termasuk industri tekstil dan produk tekstil, pemerintah harus memprioritaskan dua hal.

“Dua hal itu adalah energi dan tenaga kerja. Kita harus mendidik sumber daya manusia secara kontinyu,” katanya.

Menurut Ade, pelaku industri di Indonesia juga bisa membeli teknologi terbaru seperti yang dilakukan pelaku industri di negara pesaing.

“Akan tetapi, kalau biaya energi dan kualitas tenaga kerja tidak kompetitif, ya percuma juga kami terus belanja mesin atau teknologi baru,” kata Ade.

Kebijakan

Sementara itu, kalangan dunia usaha menilai pemerintah sudah berupaya mendukung kegiatan bisnis, termasuk melalui serangkaian paket kebijakan ekonomi. Akan tetapi, di sisi lain, pengusaha meminta sejumlah kendala yang masih menghambat diselesaikan.

Melalui kebijakan sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), misalnya, pemerintah sudah berupaya mempermudah perizinan dan mengupayakan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah. Namun, pengusaha masih melihat berbagai kendala dalam pelaksanaan kebijakan itu.

”Misalnya tentang kewajiban memiliki Sertifikat Laik Fungsi yang tidak mudah,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar.

Menurut Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat, kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih harus disinkronkan. Sinkronisasi ini termasuk berbagai aturan dan kebijakan terkait investasi.

Sumber : Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only