Kementerian LHK jalin kerja sama dengan OECD untuk optimalkan potensi pajak hijau

JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan Organisation for Economic Co-orperation and Development (OECD) akan mengoptimalisasikan pajak hijau.

OECD menerangkan pajak hijau adalah pendapatan pajak yang menyertakan aspek lingkungan. Menteri KLHK Siti Nurbaya bilang hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menyatukan pertimbangan lingkungan ke dalam rencana pembangunan ekonomi.

Direktur OECD Rodolfo Lecy menerangkan pendapatan pajak hijau di Indonesia mencapai 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2016. Angka ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan mayoritas negara OECD dan G20 seperti Turki, Afrika Selatan, Meksiko, dan Chile yang berada di level lebih dari 1%.

Dalam perpajakan di Indonesia belum ada klasifikasi pajak hijau. Namun pernyataan Rofolfo terkait pajak hijau masih searah dengan pembagian penerimaan pajak berdasarkan sektor, mulai dari pertambangan, industri pengolahan, dan konstruksi. Karena seluruh sektor tersebut berpotensi merusak lingkungan.

Dalam laporan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) realisasi pendapatan sumbangan sektor pertambangan periode Januari-Mei 2019 tercatat sebesar Rp 28,9 triliun. Anjlok 12,4% dibanding tahun lalu. Padahal, kontribusi pajak pertambangan di tahun lalu tumbuh fantastis 85,4%.

Sementara, industri pengolahan berkontribusi Rp 132,35 triliun, turun 2,7% dibanding tahun 2018. sementara kontribusi tahun lalu naik 15,7%. Selanjutnya, konstruksi dan real estat menyumbang Rp 30,92 triliun tumbuh 5,6%, tapi tak sebanding dengan pertumbuhan tahun lalu sebesar 16,1%.

Sementara itu realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas sebesar Rp 294,1 triliun setara 35,5% dari target APBN 2019 yang sebesar Rp 828,29 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 7,1%, melambat bila dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 14,3%.

Rodolfo menjelaskan, ketiga sektor itu memiliki dampak terhadap lingkungan misalnya dalam penggunaan energi batubara di mana mampu menghembuskan emisi karbondioksida. Dari sisi industri pengolahan, minyak kelapa sawit yang bertumpu pada perkebunan bisa merusak hutan.

Sementara konstruksi dan real estat besar kaitannya dengan penggunaan kendaraan bermotor. Yang ternyata belum mampu mendorong pengguna untuk membeli kendaraan beremisi rendah.

“Penurunan pendapatan pajak ini perlu dioptimalisasikan agar tercipta pertumbuhan ekonomi hijau,” kata Rodolfo dalam acara Tinjauan Kebijakan Pertumbuhan Hijau, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (10/7).

Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yon Arsal mengatakan pendapatan pajak di sektor pertambangan terpukul. Lantaran harga batubara yang sedang dalam tren melemah.

Sementara dari industri olahan khususnya yang berbahan minyak sawit pun melemah karena tren penurunan harga dan terkait restitusi. Ditambah indeks konsumsi makanan dan minuman tidak sebagus tahun lalu.

Yon menegaskan bahwa harus ada spesifikasi yang jelas soal pajak hijau. Sebab, kegiatan perushaan yang dapat merusak lingkungan bisa masuk ke pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Misalnya, usaha perikanan terindikasi merusak lingkungan maka dikenakan PNBP, atau pajak jalan tol berati ke pajak daerah” kata Yon kepada Kontan.co.id, Rabu (10/7).

Dari sudut pandang penerimaan pajak migas bisa menjadi peluang optimalisasi pajak hijau. Pada lima bulan pertama tahun ini, Pajak Penghasilan (PPh) migas hanya tumbuh 3,73% sedikit lebih tinggi dibanding tahun lalu yang tumbuh 3%.

Meskipun begitu, realisasi PPh migas masih jauh dari target APBN 2019. Tercatat realisasi PPh migas sebesar Rp 26,3 triliun atau sekitar 39,8% dari target.

Sumber : kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only