Industri Tekstil Lebih Butuh Kepastian Pasar

 JAKARTA–Insentif super deduction tax dinilai kurang tepat sasaran bagi industri tekstil. Kepastian pasar lebih dibutuhkan para pelaku sektor ini.

Seperti diketahui, pemerintah akhirnya menerbitkan payung hukum untuk kebijakan pengurangan pajak super alias super deduction tax. Kebijakan insentif tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Beleid baru tersebut merupakan perubahan atas PP Nomor 94 Tahun 2010 dan mengatur pengurangan penghasilan bruto hingga 200% bagi industri yang menyelenggarakan vokasi dan hingga 300% bagi industri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah mendorong investasi pada industri padat karya.

Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), mengatakan investasi di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) akan marak jika pemerintah membatasi impor dan menyediakan pasar di dalam negeri. Pasalnya, saat ini pabrikan enggan ekspansi karena serapan pasar domestik yang kurang akibat banjir produk impor.

“Dikasih insentif pajak hingga 300%, tetapi enggak bisa jualan, buat apa? Lebih baik kami tidak dapat insentif fiskal apapun, tetapi bisa jualan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (10/7/2019).

Redma menyatakan sebelum insentif super deductible tax, pemerintah telah menyediakan insentif perpajakan berupa tax holiday dan tax allowance. Namun, pelaku industri TPT tidak banyak yang memanfaatkan insentif tersebut.

Menurutnya, masalah utama di sektor tekstil bukan pada insentif yang kurang, tetapi impor yang tidak dikontrol sehingga produk tekstil nasional kehilangan pasar domestik.

Hal senada disampaikan oleh Cecep Setiono, Wakil Ketua APSyFI. Dia berpendapat bahwa pemerintah bisa melakukan strategi yang lebih tepat untuk menarik investasi lebih banyak dan mensubtitusi impor melalui pembatasan produk asing.

“Kalau ada demand, setiap orang akan ingin berinvestasi. Sekarang, kalau diiming-imingi insentif, tetapi impor masuk terus, siapa yang berani?”

Sementara itu, Executive Member APSyFI Prama Yudha Amdan menambahkan semakin ke arah hulu, investasi di sektor TPT semakin padat modal, sedangkan sektor hilir lebih banyak menyerap tenaga kerja. Satu pabrik purified terephtalic acid (PTA), bisa menelan investasi sekitar Rp6 triliun hingga Rp7 triliun dan baru balik modal dalam 2–3 tahun kemudian.

“Di sisi lain, kami semua siap untuk ekspansi, ada budget untuk investasi. Cuma siapa yang bisa menjamin dengan investasi sekarang, produk kami nanti ada yang beli? Kalau ada kepastian itu saja, kami pasti siap langsung investasi,” jelasnya.

Sumber : bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only