Diskon pajak jadi stimulus bagi investor

Kalangan pengusaha menyambut positif kebijakan pemerintah yang memberikan insentif pengurangan pajak besar alias super-deduction tax bagi pelaku bisnis industri utama.

Pelaku usaha pada industri otomotif misalnya. Mereka yakin bahwa kebijakan ini akan membuat investor, khususnya dari Tiongkok dan Jepang, semakin royal memarkirkan uang mereka di Indonesia.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongki D. Sugiarto mengatakan kebijakan ini bisa menjadi stimulus bagi dua negara tadi untuk meningkatkan ekspansi bisnisnya di dalam negeri.

Misalnya saja perusahaan mobil dan motor asal Jepang yang sudah lebih dulu membangun pusat riset dan pelatihan serta pendidikan vokasi bagi tenaga kerjanya di Indonesia.

“Saat ini pengembangan R&D (research and development) terbesar dari Jepang. Mereka sudah lebih konsen karena punya pabrik di sini dan volume penjualannya besar. Kalau ada insentif ini, tentu mereka akan paling dulu tertarik,” kata Jongki kepada CNN Indonesia, Rabu (10/7/2019).

Jongki menjelaskan, sebenarnya banyak pabrikan kendaraan di dalam negeri yang sudah menjalankan pengembangan riset dan pendidikan vokasi di dalam negeri.

Namun, praktik itu dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing perusahaan. Bila sudah terlatih, mereka baru ditempatkan di pabrik tertentu.

“Nantinya mereka yang sudah buka vokasi untuk 100 pekerja misalnya, jadi bisa sekali gelombang untuk 200 pekerja. Jumlahnya tambah banyak dengan insentif ini,” ujar Jongki.

Untuk diketahui, Presiden Joko “Jokowi” Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.

Ada tiga kategori penerima diskon pajak dalam aturan tersebut. Pertama, pengurangan penghasilan neto sebesar 60 persen dari jumlah penanaman modal bagi wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan perluasan usaha pada industri padat.

Kedua, wajib pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu bisa diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan.

Ketiga, wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300 persen.

Adapun yang dimaksud dengan industri utama, merujuk definisi Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah semen, kimia, kemasan plastik, logam dan sejenisnya, kayu, kertas, keramik, dan pakan ternak.

PP ini resmi berlaku sejak 26 Juni 2018. Namun, pelaksanaannya tetap harus menunggu peraturan menteri keuangan (PMK).

Berkurangnya potensi penerimaan

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut kebijakan ini memiliki dampak positif dan negatif.

Dari sisi positif, kebijakan ini bakal meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui belanja penelitian (research). Apalagi porsi belanja penelitian Indonesia masih sangat kecil, kurang dari 1 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Dengan meningkatnya belanja penelitian, maka daya saing Indonesia di tingkat global bisa ikut terkerek naik.

Sementara negatifnya adalah potensi penerimaan pajak bisa jauh berkurang. Hal ini berisiko terhadap penambahan utang.

“Kalau rasio pajak mengalami penurunan, implikasinya adalah pelebaran defisit anggaran. Defisit anggaran yang melebar bakal ditutupi dengan penerbitan surat utang,” kata Bhima.

Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan kebijakan ini bakal menghantam penerimaan pajak lantaran struktur pendapatannya besar disumbangkan oleh pengusaha.

Meski memang, tax deduction dipandang mampu menstimulus pertumbuhan dari industri yang menjadi sasarannya. Akan tetapi, dampaknya membutuhkan waktu yang lebih panjang ketimbang risiko negatifnya.

Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menilai pemerintah perlu selektif dalam memberikan insentif ini kepada wajib pajak.

“Sifatnya tetap selektif dan tidak berlaku umum. Sehingga potensi peneirmaan yang hilang (revenue forgone) dari pemberian insentif jauh lebih terkontrol, dan di sisi sebaliknya ada trade off dengan investasi di sektor atau kegiatan yang bisa memberikan efek pengganda ke perekonomian,” kata Bawono dalam Bisnis Indonesia.

Sumber : beritagar.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only