Respons Pajak Digital, Pemerintah Diminta Susun Aturan Baru

JAKARTA — Isu penarikan pajak terhadap perusahaan digital, termasuk perusahaan asing, masih menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam beberapa waktu ke depan. Namun, memajaki pelaku ekonomi digital bukan perkara mudah. Pemerintah diminta segera menerbitkan regulasi perpajakan baru untuk bisa mengimbangi perkembangan ekonomi digital yang kian pesat. 

Perusahaan raksasa digital saat ini disebut-sebut kerap menghindari kewajiban perpajakan. Tak terkecuali kewajiban perpajakan di negara yang menjadi pasar dari produk-produk digital mereka, termasuk Indonesia. Salah satu praktik yang digunakan untuk menghindari perpajakan tersebut yakni dengan cara yang disebut base erosion and profit shifting atau BEPS.

Praktik tersebut, merupakan strategi perencanaan sebuah perusahaan yang memanfaatkan celah kelemahan regulasi pemerintahan untuk menghilangkan keuntungan atau mengalihkan keuntungan perusahaan ke negara lain yang memiliki tarif pajak rendah. Tujuan akhir dari BEPS yakni agar kewajiban perpajakan perusahaan di negara yang menjadi pasar menjadi kecil lantaran keuntungan perusahaan yang diklaim minim atau bahkan nihil.

Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan, praktik BEPS oleh perusahaan digital yang melakukan perdagangan lintas negara telah menjadi perhatian global. Organisasi internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) serta kelompok G-20 juga telah menyoroti isu tersebut.

Danny mengatakan, dua perkumpulan internasional tersebut juga akan mengadakan konsensus untuk memajaki raksasa digital agar tak lagi dapat mengelabui kewajiban perpajakan dengan praktik BEPS.

“Proposal OECD dan G-20 untuk hal itu saat ini sudah mengerucut pada dua pilar yang saling melengkapi,” kata Danny kepada Republika.co.id, Ahad (14/7).

Pilar pertama, kata Bawono, bertujuan untuk merevisi ketentuan terkait hak pemajakan oleh negara yang menjadi sumber penghasilan. Bahkan, perusahaan digital yang tidak memiliki kehadiran secara fisik di negara tersebut. Pilar pertama itu secara tidak langsung akan merevisi metode alokasi laba perusahaan digital secara lebih adil. 

Adapun pilar kedua, yakni berkaitan dengan proposal anti-base erosion yang bersifat suatu pajak minimum. Ia menjelaskan, proposal tersebut pada dasarnya akan menguntungkan Indonesia yang notabene menjadi negara pasar dari mereka para raksakan ekonomi digital. Sebut saja seperti Google, Amazon, Starbucks, Facebook, dan sebagainya. 

Namun, pada pilar kedua itu, bisa jadi mendapatkan penolakan dari mereka yang menjadi negara asal lahirnya raksasa perusahaan digital itu. “Oleh karena itu, Indonesia perlu memperjuangkan hal tersebut dalam setiap forum internasional,” kata Bawono. 

Masih dalam upaya mengantisipasi kegagalan konsensus negara-negara di dunia, pemerintah Indonesia perlu memulai untuk menyiapkan ketentuan domestik atau unilateral action untuk mencegah BEPS oleh perusahaan digital. 

Hal itu, kata dia, telah dilakukan oleh banyak negara di dunia sembari menunggu adanya kesekapatan global dalam perpajakan ekonomi digital. Namun, Bawono menekankan, regulasi yang perlu segera disusun oleh pemerintah dikhususnya untuk menarik Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari perusahaan digital.

“Banyak yang bisa menjadi pertimbangan. Seperti misalnya Inggris dengan diverted profit tax, India dengan equalization levy, atau Prancis  dengan regulasinya yang bernama digital service tax,” ujarnya. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan, praktik penghindaran pajak  sebetulnya telah diantisipasi pemerintah sejak lama lewat berbagai regulasi yang ada saat ini. Namun faktanya, berbagai regulasi yang dibuat belum sepenuhnya mampu merespons dinamika ekonomi digital. 

Pada dasarnya, penghindaran pajak seperti praktik BEPS sudah terjadi sejak lama. Namun, seiring perkembangan ekonomi digital yang ditopang oleh berbagai perusahaan kelas dunia, praktik itu turut digunakan. 

Yustinus mengakui, pekerjaan untuk memajaki ekonomi digital memang sulit. Terlebih jika belum ada kesepakatan resmi antar negara-negara di dunia. Sementara, solusi yang ditawarkan OECD atau G20 juga masih menjadi diskursis global. 

Karena itu, berbeda dengan Bawono, Yustinus berpendapat, langkah terdekat yang memungkinkan dilakukan pemerintah dengan menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi yang dilakukan secara digital bahkan secara lintas negara. Namun, untuk menerapkan kebijakan itu diperlukan revisi pasar undang-undang yang memungkinkan para penjual dari luar negeri sekaligus menjadi pemungut PPN dari konsumen di Indonesia. 

Selain itu, pemasaran secara digital terhadap produk-produk yang tidak berwujud atau marketing intangible mesti menjadi sasaran pemerintah dalam mengawasi kewajiban perpajakan. Hal itu dinilai penting untuk bisa mendapatkan bagian pajak dari perusahaan digital yang mendapat penghasilan dari Indonesia. 

“Berikutnya, menunggu kesepakatan global dan pemerintah harus membuat regulasi yang sifatnya mempertegas regulasi yang ada saat ini untuk memberikan kepastian,” ujarnya.  

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only