Agar Defisit Tak Bengkak, Pos Belanja Mesti Dipangkas

JAKARTA – Pemerintah di­imbau memangkas pos-pos belanja yang kurang strategis secara ekonomi dan politis un­tuk menjaga agar defisit ang­garan tidak membengkak dari target yang telah dicanangkan sebelumnya.

Seperti diketahui, defi­sit anggaran hingga semester I-2019 sebagaimana disampai­kan Menteri Keuangan, Sri Mul­yani Indrawati, akan mencapai 135,8 triliun rupiah atau 0,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut melebar dibanding dengan se­mester I-2017 yang defisit sebe­sar 110,6 triliun rupiah atau 0,75 persen terhadap PDB.

Kepala Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan peme­rintah memiliki beberapa opsi untuk mengantisipasi terjadi­nya koreksi terhadap target pertumbuhan ekonomi akibat dampak dari kemungkinan shortfall atau lebih rendahnya penerimaan perpajakan dari target yang diproyeksikan.

“Pemerintah bisa menam­bah penarikan utang untuk menutupi kekurangan pene­rimaan perpajakan, tetapi ha­rus dilakukan secara hati-hati, terutama dalam pengelolaan utang ke depan,” kata Ryan, di Jakarta, Rabu (17/7).

Selain menambah sumber pembiayaan, pemerintah bisa mengoptimalkan penerima­an yang ada dengan efisiensi atau memangkas pos-pos be­lanja yang sifatnya tidak terlalu memengaruhi pertumbuhan jika belanjanya dipangkas.

Lebih lanjut, Ryan me­maparkan bahwa dalam kon­disi kegiatan ekonomi dan in­vestasi serta konsumsi rumah tangga tidak optimal, maka berdampak pada penerimaan pajak (PPh dan PPN) yang juga tidak optimal.

“Hal itu berpotensi me­nyebabkan terjadi pelebaran defisit anggaran dari 1,8 per­sen menjadi 1,96 persen terha­dap PDB. Tentu ini tidak baik di mata pelaku pasar,” kata Ryan.

Untuk itu, pemerintah harus segera mendorong perekono­mian lebih bergairah, terutama investasi, melalui percepatan birokrasi perizinan investasi, dan pemberian tax incentive untuk investor yang menanam­kan modal di sektor-sektor stra­tegis yang memberikan efek positif bagi perekonomian.

Terutama, yang menyerap tenaga kerja, output-nya me­rupakan substitusi impor, dan berlokasi di luar Jawa. “Dengan cara ini diharapkan penerima­an pajak akan terdongkrak se­cara berkesinambungan,” tu­tup Ryan.

Sebelumnya, Kementeri­an Keuangan mengungkapkan penerimaan pajak pada tahun 2019 bakal meleset atau hanya 91,16 persen dari target yang dipatok 1.577,56 triliun rupiah, yakni hanya akan mencapai 1.438,25 triliun rupiah.

Bahkan, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhannya hanya se­kitar 9,5 persen. Proyeksi ke­kurangan pajak tahun ini di­perkirakan hampir 140 triliun rupiah atau sekitar 26 persen lebih tinggi dibandingkan pe­riode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, kondisi APBN hingga semester I 2019 mengalami defisit sebesar 135,8 triliun rupiah atau 0,84 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pertumbuhan Stagnan

Dihubungi terpisah, Direk­tur Eksekutif Institute for Deve­lopment of Economics and Finance (Indef), Tauhid Akh­mad, mengatakan rendahnya penerimaan lantara pertum­buhan ekonomi yang cende­rung stagnan.

“Kondisi penurunan pene­rimaan ini kemudian mendo­rong pelemahan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menjadi indikator kon­sumsi dalam negeri,” katanya.

Sumber : Koran Jakarta

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only