Pembiayaan Tak Sulit, Akses Pasar yang Susah

Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sumringah. Mereka menyambut gembira kebijakan pemerintah yang makin gencar menggenjot penyaluran pembiayaan ke UMKM, terutama yang berorientasi ekspor.

Salah satunya, melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Aturan mainnya tertuang di Peraturan Pemerintah (PP Nomor 43 Tahun 2019 tentang Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional.” Tentu, kami sangat menyambut baik kebijakan tersebut,” kata Muhammad Ikhsan Ingratubun, Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo).

Menurut Ikhsan, pelaku UMKM yang berorientasi ekspor memang sangat memerlukan pembiayaan. “Mereka membutuhkan dukungan pembiayaan untuk akses permodalan hingga kegiatan promosi dan pemasaran,” jelasnya.

Dukungan pembiayaan, imbuh Ikhsan, jelas bakal meningkatkan daya saing dan nilai tambah berbagai produk UMKM asal Indonesia. Sehingga bisa mendukung pertumbuhan UMKM dalam negeri, juga mendongkrak kinerja ekspor nasional secara signifikan.

Hanya saja, ternyata fasilitas pembiayaan saja tidak cukup untuk meningkatkan ekspor UMKM. Kata Ikhsan, kebijakan pemerintah itu harus barengi dengan upaya membuka akses pasar ekspor. Makanya, sejauh ini belum banyak pelaku UMKM yang mengakses pembiayaan LPEI gara-gara terkendala pasar. “Mengakses pembiayaannya sih tidak sulit, tapi soal akses pasar yang masih menjadi kendala,” ungkapnya.

Tambah lagi, proses dan tahapan ekspor yang harus pelaku UMKM lalui terbilang mahal dan rumit. “Maka itu, pemerintah harus benar-benar melihat prosesnya seperti apa, hambatannya seperti apa. Sebab, itu yang bikin ekspor UMKM masih stagnan,” sebut Ikhsan.

Ekspor UMKM sebenarnya sudah berjalan dalam ukuran yang kecil-kecil, seperti melalui platform online. Namun, ekspor produk dalam volume yang besar masih sangat sulit dan mahal. Alhasil, tak banyak usaha kecil yang tertarik melakukan ekspor.

Tidak serasi

Hambatan utamanya terletak pada pajak ekspor yang tinggi untuk volume barang kami yang kuantitasnya besar, pajak berlaku tetap 30%, sama dengan perusahaan besar pada umumnya,” tegas Ikhsan. Itu belum termasuk pajak di negara tujuan ekspor. “ Pengirim dan penerima masih harus bayar lagi,” tambah dia.

Selain pajak tinggi, hambatan yang pelaku UMKM alami ialah perizinan ekspor. Ikhsan mengatakan, belum ada kebijakan pemerintah yang jelas soal tata cara UMKM bisa memperoleh izin ekspor layaknya korporasi-korporasi besar.” Ujungnya kami harus bayar ke perusahaan besar sekitar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta untuk ikut mengirim barang bersama mereka,” kata Ikhsan.

Oleh karena itu, Ikhsan menilai, tidak ada sinkronisasi antara imbauan dan kebijakan yang pemerintah keluarkan untuk mendorong ekspor UMKM.” Secara teknis, kebijakannya tidak serasi antara satu kementerian dengan kementerian lain yang berkaitan,” beber dia.

Senada, Bhima Yudhistira, Pengamat Ekonomi Indef, juga melihat, sejumlah kementerian terkait belum terintegrasi dalam memberikan kemdahan bagi para eksportir khususnya UMKM.” Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian masih punya ego sektoral, belum akur,” ujarnya.

Kalau terus-menerus seperti ini, Ikhsan menyatakan, dorongan ekspor produk UMKM hanya akan berakhir menjadi imbauan semata. Pelaku usaha pun akhirnya memilih pasar dalam negeri yang masih luas dan memberi untung besar.

Semestinya, Indonesia bisa mencontoh China. Pelaku usaha di negeri tembok raksasa itu mempu memproduksi dengan biaya murah karena banyak memperoleh insentif dan kemudahan dari pemerintahnya. “ Kita mampu juga memperoduksi dengan murah, tapi belum mampu mendapat pasar seluas-luasnya,” ucap Ikhsan.

Menurut Ikhsan, bila saja UMKM bisa mengekspor langsung, maka akan lebih menguntungkan perekonomian nasional karena volume ekspor bertambah besar. “ Kalau mau volume ekspor bertambah banyak, eksportir silakan menggarap pasar ekspornya sendiri. Tentu, ini akan menambah produk domestik bruto (PDB) karena ekonomi semakin menggeliat,” katanya.

Menurut Yudi Prasetyo, pebisnis aksesori biji kopi asal Yogyakarta, banyak pelaku UMKM di daerahnya yang memiliki potensi eskpor sangat besar. “ Banyak buyer luar yang sebenarnya tertarik dengan produk UMKM,” ujar pemilik usaha Kopi Kreatif (Koke) ini.

Contohnya, produk Koke yang banyak peminat di luar negeri . Yudi sudah mengekspor  beberapa produk, seperti gelang biji kopi, tasbih biji kopi, hingga pewangi ruangan aroma kopi. “ Saya ekspor ke Jerman dan Malaysia,” ujar dia.

Nah, untuk menggenjot ekspor, Yudi sangat berminat dengan fasilitas pembiayaan dari LPEI. Ada banyak pelaku usaha kreatif seperti dirinya di Yogyakarta yang ingin sekali mengekspor produknya ke mancanegara. Tapi, karena terkendala permodalan, banyak pelaku usaha yang menunda keinginan tersebut. “Ditambah lagi, kendala perizinan ekspor cukup berat juga,” imbuhnya.

Pendampingan juga

Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemkeu), menjelaskan, PP Nomor 43 Tahun 2019 memberi ruang luas bagi UMKM dan koperasi untuk melakukan eskpor.selain mengakomodir UMKM sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, pemerintah menambah kriteria penerima fasilitas pembiayaan ekspor, yaitu usaha menengah berorientasi ekspor yang memiliki penjualan tahunan Rp 50 miliar – Rp 500 miliar.

Ini menunjukkan, pemerintah serius menggenjot ekspor UMKM lantaran sektor ini berkontribusi besar dalam perekonomian nasional atau sekitar 60% terhadap PDB. UMKM juga tergolong industri padat karya. “Jadi, penerbitan PP Nomor 43 merupakan upaya pemerintah untuk terus meningkatkan peran LPEI dalam menggenjot ekspor, khususnya produk UMKM, “ tambah Wira.

LPEI akan memainkan peran sebagai fill the market gap, dengan memberikan fasilitas pembiayaan ekspor kepada area-area yang tidak dimasuki lembaga jasa keuangan domestik. Sekaligus, “ Untuk mengembangkan pangsa pasar yang masih kecil,” ujar Wira.

Berdasarkan data UMKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), kontribusi UMKM terhadap total ekspor sepanjang 2018 sebesar 15,8% atau bernilai US$ 23 miliar.

Pemerintah menargetkan, kontribusi produk UMKM harus meningkat menjadi 20% dari total ekspor nonmigas pada 2019. “Kementerian dan lembaga juga didorong untuk ikut meningkatkan ekspor termasuk UMKM melalui program kerja dan kebijakan, “ imbuh Wira.

Hanya, terkait usulan pemangkasan tarif ekspor khusus produk UMKM, Wira belum bisa berkomentar banyak.” Kami tampung dulu, tentu nanti ada kajian,” katanya.

Untuk mendorong ekspor, Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif LPEI Sinthya Roesly mengatakan, lembaganya tidak hanya fokus ke pembiayaan semata. Tapi juga turut memberikan program pendampingan kepada UMKM, termasuk mencarikan solusi atas masalah ekspor. “Kami menyediakan jasa konsultasi di antaranya coaching program for new exporter (CPNE) dan digital handholding program (DHP),” beber Sinthya.

Tahun ini, LPEI memasang target pembiayaan mencapai Rp 111,07 triliun atau tumbuh 2% dibanding realisasi tahun lalu sebesar Rp 108,89 triliun. Dari jumlah itu, portofolio pembiayaan UMKM sebsar 14%-15% atau Rp 15 triliun – Rp 16 Triliun.

Agus Windiarto, Direktur Pelaksana III LPEI, menambahkan, tidak semua pembiayaan ekspor UMKM mengalir ke industri skala menengah. Sebagian ada juga tersalur untuk kegiatan pendukung UMKM yang berorientasi ekspor.

Pembiayaan tersebut mengalir ke beberapa sektor usaha, seperti tekstil, kertas dan hasil kertas, makanan dan minuman, kayu dan hasil kayu, peternakan, kimia, perkebunan serta industri koran. Porsi terbesar atau sekitar 10% ke sektor tekstil dan kertas, diikuti 9% untuk sektor makanan dan minuman.

Direktur Kerjasama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan (Kemdag) Marolop Nainggolan mengklaim, selama ini pemerintah proaktif membantu pelaku UMKM menembus pasar ekspor. Program yang sudah Kemdag lakukan, misalnya, Indonesia-Canada Trade and Private Sector Assistance (TPSA) Project.

Proyek kerjasama Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemdag dengan Pemerintah Kanada ini sudah berlangsungnsejak 2014 dan akan berakhir Agustus 2019. TPSA Project membina 15 UMKM Indonesia untuk tiga sektor: pakaian jadi, alas kaki dan kopi. “ Pembinaan TPSA Project kepada calon eksportir sangat memberi manfaat. Terbukti, mereka sukses mendapatkan order dari buyer Kanada dan negara lain,” kata Marolop.

Meski begitu, banyak program pemerintah yang tak sampai ke pelaku UMKM di daerah. Seperti di ungkap Yudi,” Memang, banyak program pemerintah untuk UMKM, tapi banyak yang enggak sampai informasinya ke kami di daerah.”

Masih banyak pekerjaan rumah untuk mendongkrak ekspor produk UMKM kita.

Sumber : Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only