RI Terendah di Asia Pasifik

JAKARTA, Rasio pajak Indonesia masuk dalam jajaran paling rendah di negara-negara Asia Pasifik. Hal ini berbanding terbalik dengan capaian mayoritas negara lain yang menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukan kenaikan.

OECD merilis laporan berjudul ‘Revenue Statistic in Asia and Pacifi c Economies 2019’ yang berbasis kajian dari kinerja penerimaan 2017. Laporan itu menunjukkan, sebanyak 9 negara mengalami kenaikan tax ratio terhadap GDP antara 2016 dan 2017. Sisanya, yakni 8 negara justru mengalami penurunan.

Rasio pajak Indonesia terhadap GDP tercatat hanya 11,5%, yang merupakan paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara kepulauan kecil di kawasan pasifik, misalnya Tokelau yang mencapai 14,2% atau Vanuatu yang mencapai 17,1%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati maupun Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara tidak memberikan respons saat dimintai tanggapan oleh Bisnis mengenai laporan tersebut.

Namun demikian, dalam beberapa kesempatan pihak otoritas pajak menyebutan bahwa apabila tanpa melihat antarkomponen dalam penghitungan, rasio pajak Indonesia akan jauh keteteran dibandingkan dengan negara- negara lainnya.

Menghitung rasio pajak, dalam pandangan pemerintah, tidak bisa dilepaskan dari komponen yang membentuknya. Pertama, penerimaaan pajak yang selama ini dipungut apakah sudah mencakup semua pungutan wajib yang dilakukan negara atau tidak.

Pertumbuhan penerimaan pajak dari 2009 lalu terus mengalami penurunan.

Rasio pajak Indonesia cenderung masih stagnan dan pertumbuhannya tidak sebanding dengan porsi insentif yang diberikan.

Kedua, tingkatan tarif yang dalam beberapa kasus sangat berbeda antarnegara. Besar kecilnya tarif pajak tersebut akan mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak. Ketiga, tax base atau dasar pengenaan pajak yang berbeda. Dalam hal ini terkait keberadaan tax expenditure atau belanja pajak misalnya kebijakan pembebasan pajak, tax holiday, dan tax allowance.

Selain tiga hal tersebut, ada pula faktor-faktor lain yang memengaruhi kinerja rasio pajak. Di antaranya keberadaan faktor eksternal misalnya pertumbuhan ekonomi (termasuk di dalam struktur ekonomi) dan sosial politik, subjek pajak, compliance rate, hingga tax capacity.

Data Ditjen Pajak menyebutkan bahwa pertumbuhan penerimaan pajak dari 2009 terus mengalami penurunan. Pelambatan pertumbuhan penerimaan pajak bahkan secara konsisten makin tampak mulai dari 2014-2017 atau dari 7,7% menjadi 4,1% pada tahun 2017.

Namun demikian, pada 2018 tingkat pertumbuhan penerimaan pajak mengalami kenaikan atau di atas 10% yang disebabkan karena lonjakan harga komoditas. Tahun ini, berdasarkan realisasi penerimaan pajak semester 1/2019, pertumbuhan penerimaan pajak hanya berada di angka 3,75%.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan, menghitung rasio pajak di Indonesia tidak bisa disamaratakan dengan negara-negara lain. Pasalnya ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam melihat perkembangan besar kecilnya penerimaan pajak. Misalnya dari aspek kebijakan maupun ukuran ekonominya.

“Untuk ekonomi strukturnya lebih kompleks, misalnya adanya sektor informal, termasuk perdagangan dan industrinya,” kata Prastowo, Kamis (25/7).

MASIH STAGNAN

Kendati demikian, Pastowo tidak menampik bahwa rasio pajak Indonesia cenderung masih stagnan dan pertumbuhannya tidak sebanding dengan porsi insentif yang diberikan.

Dengan demikian, masalah kapasitas memungut menjadi tantangan. “Menurut saya visi misinya harus clear. Kalau akhirnya tambal sulam kan akhirnya enggak tuntas juga,” tegas Prastowo.

Dengan kompleksitas, termasuk kondisi pemungutan yang belum optimal, Prastowo menyarankan setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah, termasuk soal insentif, harus dihitung dan diukur seberapa besar multiplier effect-nya ke perekonomian. “Harusnya ada trade-off ,” kata dia.

Adapun Partner DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menjelaskan, rendahnya tax ratio di Indonesia pada dasarnya bisa diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, ditinjau dari sisi historisnya, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan pembenahan sistem kerap tidak optimal karena selalu adanya ‘godaan’ penerimaan dari sektor nonperpajakan terutama dari komoditas (sumber daya alam/ SDA).

Padahal, tinggi rendahnya penerimaan dari SDA sifatnya tidak menentu dan kurang bisa diharapkan. Belajar dari pengalaman tersebut, reformasi pajak secara menyeluruh harus dilakukan demi meningkatkan tax ratio sekaligus untuk menjaga ketahanan fiskal.

Kedua, tingginya angka shadow economy di Indonesia. Mengacu pada Medina dan Scheneider (2018), angka shadow economy di Indonesia mencapai 26,6% terhadap PDB.

“Kuncinya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan dan mengolah informasi. Kita juga harus menyadari bahwa baru selama 2 tahun belakangan ini otoritas pajak kita memiliki akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan maupun pertukaran informasi,” jelasnya.

Melihat kondisi tersebut, menurutnya Indonesia cukup tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain dalam kemampuan menguji kepatuhan wajib pajak melalui data pihak ketiga.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga giat memperbaiki administrasi pajak untuk mengoptimalkan data dan informasi.

Ketiga, adanya perubahan situasi ekonomi yang belum mampu sepenuhnya diikuti oleh UU.

“Sebagai contoh, adanya model binis digital, sumber aliran penghasilan yang semakin bervariasi, skema penghindaran pajak yang semakin kompleks, dan sebagainya. Ini tentu memerlukan revisi UU,” ujarnya.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only