Dibidik KPK, Begini ‘Basahnya’ Bisnis Taipan Batu Bara RI

Jakarta. Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menajamkan ‘penciuman’ ke sektor industri batu bara nasional.

Terbaru, KPK telah melayangkan surat ke empat kementerian dan pemerintah daerah pada 17 Juli 2019 untuk buka-bukaan perihal transaksi penjualan batu bara di Indonesia.

Berdasarkan kabar yang diterima CNBC Indonesia, langkah KPK tersebut dilakukan untuk mencari kebenaran terkait praktik transfer pricing di industri ‘jual tanah’ ini.

Namun, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan ini hanya untuk menjalankan fungsi monitoring mereka untuk mengecek tata kelola pemerintahan yang baik.

Sebagaimana yang telah diketahui, transfer pricing merupakan praktik perusahaan dalam menentukan harga suatu transaksi.

Biasanya praktik transfer pricing digunakan perusahaan untuk meminimalisasi pembayaran pajak.

Contohnya, misalkan ada suatu komoditas dengan harga US$ 100/ton. Perusahaan A adalah badan usaha lokal yang menjual komoditas tersebut.

Perusahaan B merupakan badan usaha yang terafiliasi A di luar negeri. Sementara pajak di luar negeri lebih rendah dibanding di Indonesia.

Dalam kondisi tersebut, perusahaan A bisa saja menjual komoditas dengan harga US$ 50/ton (setengah harga) pada B. Dengan begitu perusahaan A kemungkinan akan mencatat rugi, sehingga tidak harus bayar pajak.

Selanjutnya perusahaan B menjual di luar negeri kepada pasar bebas dengan harga normal US$ 100/ton. Tapi karena pajaknya rendah (apalagi tax haven), perusahaan B jadi untung lebih besar.

Karena kedua perusahaan A dan B merupakan saudara (satu grup), jadi ya sama saja.

Di Indonesia, praktik transfer pricing diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lain.

Ada beberapa metode yang bisa digunakan DJP untuk menentukan harga wajar sebuah transaksi, salah satunya adalah perbandingan.

Lantas Bagaimana Kondisi Industri Batu Bara?

Sesuai dengan surat yang dilayangkan, KPK meminta data terkait komoditas batu bara dalam kurun waktu 2017 sampai dengan Juni 2019. Untuk urusan harga, setidaknya ada beberapa acuan yang bisa digunakan untuk melihat kondisi pasar batu bara global.

Acuan tersebut adalah harga batu bara Newcastle, Indonesia Coal Index (ICI), dan Harga Batu Bara Acuan (HBA).

Harga acuan Newcastle mengacu pada harga batu bara yang keluar dari pelabuhan Newcastle, Australia dan memiliki kalori acuan 6.000 kcal. Adapun harga ICI mengacu pada batu bara Indonesia yang berkalori rendah, yaitu sebesar 4.200 kcal.

Sementara HBA merupakan harga yang ditetapkan pemerintah Indonesia dengan memperhitungkan beberapa indeks harga batu bara dunia. Acuan kalori untuk HBA adalah 6.322 kcal.

Perlu diingat bahwa harga acuan tidak bersifat saklek. Dalam praktiknya, perusahaan akan melakukan proses negosiasi dan tercipta suatu harga baru. Namun biasanya tidak terpaut sangat jauh.

Melihat perkembangannya, pada tahun 2017, harga batu bara memang sedang rendah. Kala itu, rata-rata harga batu bara Newcastle hanya sebesar US$ 87,39/ton. Sedangkan HBA sebesar US$ 85,92. Sementara kontrak pembelian batu bara ICI belum diperdagangkan.

Harga Batu bara masih mendapat tekanan dari perlambatan ekonomi yang melanda pasca krisis keuangan global tahun 2018. Namun sudah mulai merangkak naik perlahan.

Di tahun 2018, keadaan sedikit lebih baik karena rata-rata harga batu bara Newcastle berhasil naik sebesar 21% YoY ke level US$ 105,73/ton. Sedangkan rata-rata HBA naik 15,2% YoY menjadi US$ 98,96/ton. Adapun batu bara ICI yang baru diperdagangkan di tahun tersebut memiliki rata-rata harga sebesar US$ 41,2/ton.

Meski permintaan global mulai tumbuh di tahun 2018, namun hal itu tidak bertahan lama. 

Ada beberapa hal yang sejatinya membebani harga batu bara. Salah satunya adalah pembatasan impor di China. Kebijakan tersebut membuat importir batu bara di China memiliki kuota yang tidak boleh melebihi tahun 2017. Hal itu dilakukan untuk melindungi industri batu bara lokal.

Selain itu perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China mulai berkecamuk. Hingga saat ini.

Akibatnya, harga batu bara masih terus tertekan hingga saat ini.

Per akhir Juli 2019, rata-rata harga batu bara Newcastle hanya sebesar US$ 85,98, yang artinya turun 18,7% YoY. HBA dan ICI pun juga turun masing-masing sebesar 13,5% dan 11,5% YoY.

Selain harga acuan, pasar batu bara Indonesia juga agak sedikit dimodifikasi oleh pemerintah.

Ada yang namanya Domestik Market Obligation (DMO), di mana perusahaan batu bara wajib menyetor 25% produksinya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Harga jual batu bara kepada PLN juga dipatok sebesar US$ 70/ton.

Meski demikian, pasar utama batu bara Indonesia masih merupakan ekspor ke luar negeri. Tercatat pada tahun 2017, dari total produksi batu bara nasional yang sebesar 461,2 juta ton, sebanyak 364,2 juta ton atau 78% diekspor ke luar negeri. Hanya 21% atau 97 juta ton saja yang diserap oleh pasar dalam negeri.

Berlanjut ke tahun 2018, nyatanya serapan dari dalam negeri malah turun menjadi hanya 20,9% saja. Meskipun secara nominal naik menjadi 115 juta ton. Produksi batu bara nasional tahun 2018 adalah sebesar 548 juta ton.

Melihat dua emiten batu bara dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, PT Bayan Resources (BYAN) dan PT Adaro Indonesia (ADRO), pola pergerakan harga tampaknya masih senada dengan pergerakan harga acuan global.

Berdasarkan laporan tahunan perusahaan, BYAN mencatat volume ekspor pada tahun 2017 dan 2018 maisng-masing sebesar 17,4 dan 23 juta ton. Sedangkan nilai transaksi dari penjualan ekspor pada 2017 dan 2018 masing-masing sebesar US$ 935 juta dan US$ 1,45 miliar.

Artinya harga rata-rata batu bara ekspor BYAN tahun 2017 dan 2018 adalah US$ 53,8/ton dan US$ 63,3/ton. Ada kenaikan sebesar 18% pada periode tersebut.

Sedikit berbeda, harga ekspor batu bara Adaro sedikit lebih tinggi. Dari laporan tahunan perusahaan diketahui bahwa volume ekspor ADRO tahun 2017 dan 2018 sebesar 37,8 dan 40,1 juta ton.

Sementara pendapatan dari ekspor batu bara tahun 2017 dan 2018 sebesar US$ 3,04/ton dan US$ 3,34/ton. Dengan demikian harga ekspor tahun 2017 dan 2018 masing-masing US$ 80,4/ton dan 83,3/ton. Ada kenaikan sebesar 4%.

Sumber : cnbnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only