Obral Diskon Pajak, RUU Relaksasi Perpajakan Berlaku 2021

JAKARTA. Pemerintah semakin serius dalam meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perkeonomian, atau secara sederhana bisa disebut RUU Relaksasi Perpajakan. Rancangan UU ini pada prinsipnya menampung berbagai macam insentif dan kemudahan perpajakan yang diberikan kepada wajib pajak, baik perorangan atau perusahaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, beleid ini ditargetkan bisa diundangkan per 2021 mendatang, setelah mendapat persetujuan parlemen. Sri menyebutkan, RUU Relaksasi Perpajakan yang baru bertujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional, pendanaan investasi, menyesuaikan pendapatan wajib pajak yang perlu dilaporkan berdasarkan teritorial, mendorong kepatuhan wajib pajak, menciptakan keadilan bagi pelaku usaha.

Ada delapan poin utama yang akan dimasukkan dalam RUU Relaksasi Perpajakan. Pertama menyangkut pengaturan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Beleid ini akan mengoreksi besaran dan teknis PPh, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Substansi terpenting adalah penurunan tarif PPh Badan. Seperti yang sudah disampaikan, sekarang 25 persen, turun secara bertahap ke 20 persen,” ujar Sri Mulyani usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (3/9).

Kedua, adalah penghapusan PPh atas dividen dari dalam dan luar negeri bila digunakan untuk investasi di Indonesia. Selama ini dividen atas 25 persen saham ke bawah dikenai PPh normal sebesar 25 persen.

Ketiga, pemerintah akan menerapkan perubahan rezim perpajakan dari Worldwide (global) ke rezim teritorial. Artinya, ujar Sri, Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA) akan menjadi wajib pajak di Indonesia bergantung pada lama tinggal. Selama ini batas waktu yang digunakan adalah 183 hari tinggal.

Keempat, wajib pajak akan diberikan kemudahan dalam melaporkan status pajaknya. Bila selama ini wajib pajak dikenai denda 2 persen per bulan dari besaran pajak yang kurang bayar (saat melaporkan SPT), maka RUU Relaksasi Perpajakan akan mengubah kebijakan tersebut. Nanti denda atas pajak kurang bayar akan mengikuti formula berikut: lama bulan terlambat dibagi 12 (bulan) dikalikan suku bunga pasar ditambah 5 persen.

“Prorata bergantung berapa lama kurang bayar, kalau telat 2 bulan: 2 per 12 kali suku unga pasar plus 5 persen. Ini apabila WP lakukan pembetulan,” kata Sri.

Kelima, pemerintah melakukan relaksasi terhadap hak wajib pajak untuk kreditkan pajak mereka. Intinya, berbagai pajak masukan yang selama ini tidak bisa dikreditkan, dalam RUU Relaksi Perpajakan nanti bisa dikreditkan atau diklaim untuk kurangi kewajiban pajak.

Keenam, RUU Relaksasi Perpajakan yang baru akan menampung seluruh insentif termasuk tax holiday, super deduction tax, fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan PPh atas Surat Berharga Negara di pasar internasional.

Ketujuh, pemerintah mulai tegas memajaki perusahaan digital multinasional seperti Google, Amazon, hingga Netflix. Selama ini perusahaan tersebut memang tidak bisa dikukuhkan sebagai subyek pajak luar negeri yang bisa dipungut pajaknya.

“Dengan RUU ini, kami tetapkan bahwa mereka perusahaan digital internasional, Google, Amazon, Netflix mereka bisa memungut, menyetor, dan melaporkan PPN. Supaya tidak ada penghindaran pajak, karena mereka tahu berapa jumlah volume kegiatan ekonominya. Tarif sama, 10 persen,” kata Sri.

Kedelapan, menyambung persoalan perusahaan digital di poin ketujuh, perusahaan tak harus memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia untuk bisa dipajaki. Dalam RUU Relaksasi Perpajakan, definisi BUT tak lagi berdasarkan kehadiran fisik perusahaan di Indonesia.

“Walau mereka tak punya kantor cabang di Indonesia tapi kewajiban pajak tetap ada. Karena mereka ada Significant Economic Presence,” katanya.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only