Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Diklaim Tak Banyak Pengaruhi Inflasi

Kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diprediksi meningkatkan inflasi pada komponen harga barang yang diatur pemerintah (administered prices).

Sebelumnya, muncul rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta kelas I dan II per Januari 2020. Iuran peserta kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu, sementara kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, naiknya iuran BPJS Kesehatan akan mengurangi kesejahteraan masyarakat secara langsung. “Tadinya (uangnya) bisa buat nabung, tahu-tahu enggak bisa nabung,” ujarnya di gedung DPR kemarin (3/9). Selain itu, masyarakat akan mengerem pengeluaran lain agar bisa membayar iuran BPJS Kesehatan.

Tahun depan pemerintah menargetkan inflasi berada di kisaran 3,1 persen. Sementara itu, tahun ini sasaran inflasi 3,5 persen. Menurut Tauhid, meski iuran BPJS Kesehatan yang mahal akan meningkatkan laju inflasi, pengaruhnya hanya sedikit. Inflasi diprediksi lebih banyak dipengaruhi kenaikan beberapa komoditas pangan yang terdampak musim kemarau. Hal itu mengakibatkan pergeseran pola produksi serta memengaruhi pasokan pada perayaan Natal dan tahun baru.

Hingga tahun depan, pengaruh inflasi administered prices terhadap total inflasi diperkirakan tidak terlalu signifikan. “Asalkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tidak turut disusul dengan kenaikan harga lain seperti tarif dasar listrik maupun harga BBM,” kata Tauhid.

Tauhid berharap inflasi dapat terkontrol agar masyarakat tidak kaget menghadapi kenaikan tarif itu. Defisit BPJS Kesehatan tahun ini mencapai Rp 32 triliun. Pemerintah sudah menambal hingga Rp 13 triliun. Selain itu, pemerintah memberikan insentif fiskal untuk membantu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Caranya, memberikan hak restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk pedagang farmasi yang bekerja sama dengan rumah sakit (RS) mitra BPJS Kesehatan.

Para pedagang farmasi tersebut digolongkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah sehingga bisa mendapatkan restitusi pajak. “Kebijakan ini untuk membantu program JKN serta likuiditas wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pemungut PPN melalui pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama.

Sumber : Jawapos.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only