Sri Mulyani Tagih Hasil Insentif yang Ia Beri ke Pengembang

Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani menagih hasil dari sejumlah insentif yang telah diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha properti. Masalahnya, pertumbuhan industri itu masih melambat hingga saat ini.

“Banyak insentif sudah dikasih, sektornya kapan pick up?” ungkap Sri Mulyani, Rabu (18/9).

Beberapa insentif yang diberikan, seperti relaksasi batas harga rumah yang berhak mendapatkan insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Insentif lain, kenaikan batasan harga hunian mewah yang terkena Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) menjadi Rp30 miliar. Beleid itu tercantum dalam PMK No 86/PMK/010/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM.

Selanjutnya, industri properti juga kembali diberikan angin segar dari penurunan Pajak Penghasilan (PPh) 22 untuk hunian mewah dari 5 persen menjadi 1 persen. Pemangkasan ini diatur dalam diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli Atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

“Jadi kebijakan fiskal kami coba terus, sektor mana yang perlu sekali diberikan,” ucapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Properti Hendro Gondokusumo menyatakan seluruh insentif tersebut baru akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor properti tahun depan. Pada 2019, pertumbuhan investasi properti diprediksi masih di kisaran 3,8 persen, tak jauh dari posisi 2017 lalu yang sebesar 3,58 persen.

“Kami sangat merasakan pada 2019 ini betapa pertumbuhan properti sangat stagnan, bahkan perlambatan. Namun, kami optimistis dan memiliki harapan bahwa situasi bisa lebih baik ke depan,” ucap Hendro.

Menurutnya, dampak dari pemberian insentif memang tak akan langsung terasa dalam jangka pendek. Sebab, pengusaha perlu menyesuaikan kembali pembangunan properti dengan kebijakan yang baru.

“Properti ini perlu waktu untuk dikembangkan, tidak seperti trading. Kalau harga misalnya diturunkan langsung laku, tidak begitu,” jelasnya.

Namun, Hendro tak bisa memastikan berapa persen kenaikan industri tahun depan. Hal ini karena bergantung dengan kondisi ekonomi global dan nasional.

Begitu juga dengan dampak pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur, ia optimistis hal itu akan mendorong sektor properti. Hanya saja, belum akan berdampak pada 2020.

“Tahun depan masih bergantung ekonomi di global dan nasional bagaimana. Ibu kota baru juga belum berdampak tahun depan, perlu dua sampai tiga tahun baru terlihat,” pungkasnya.

Diketahui, pemerintah mengajak pihak swasta untuk ikut membangun konstruksi di ibu kota baru. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menargetkan sebanyak 54,6 persen atau Rp265,2 triliun dari total dana yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota Rp486 triliun dipenuhi melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Kemudian, khusus dari swasta saja sebanyak Rp127,3 triliun atau 26,2 persen. Sisanya, pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp93,5 triliun atau 19,2 persen berasal dari APBN untuk pembangunan ibu kota baru.

Sumber : cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only