Kondisi Global Tekan Penerimaan Pajak

JAKARTA, Pemerintah menuding perlambatan ekonomi global menjadi penyebab utama seretnya penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, penerimaan pajak sampai akhir Agustus hanya Rp801,1 triliun atau 50,7% dari target APBN senilai Rp1.577,5 triliun.

Sektor manufaktur yang kontribusinya lebih dari 28% ke penerimaan pajak turun 4,8%. Tahun lalu, sektor ini masih mampu tumbuh positif di angka 13,4%.

Sementara itu, sektor perdagangan yang tahun lalu tumbuh sebesar 26,7%, Agustus 2019 hanya tumbuh 1,5%. Kontraksi terbesar terjadi di sektor pertambangan yang minus 16,3%. Padahal tahun lalu sektor ini mampu tumbuh di angka 71,6%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan melambatnya penerimaan pajak merupakan konsekuensi dari kondisi perekonomian yang menunjukkan adanya penurunan.

“Kondisi ekonomi mengalami tekanan. Maka kita akan melihat mana jenis pajak yang masih tumbuh dan mana yang mengalami tekanan,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (14/9).

Dia tak menampik, bahwa dengan kondisi perekonomian yang terus tertekan, penerimaan pajak penuh dengan tantangan.

“Infonya yang mengalami kontraksi semuanya menggambarkan konsistensi bahwa kegiatan industri manufaktur di Indonesia terkena pengaruh negatif,” jelasnya.

Sementara itu, upaya ekstra atau extra effort belum cukup membantu kinerja penerimaan pajak. Apalagi, porsi extra effort hanya 15% dari total keseluruhan penerimaan pajak.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo, megatakan dengan prospek penerimaan yang cukup mengkhawatirkan, jalan satu-satunya untuk mengejar penerimaan pajak adalah memanfaatkan data dari pihak ketiga. “ Ya apa saja yang bisa kami lakukan,” kata Suryo.

Dalam catatan Bisnis , peningkatan aktivitas ini perlu dilakukan karena kinerja extra effort utama belum cukup baik. Effort di pengawasan misalnya tercatat turun 28,8% dan secara total effort juga turun 15,5%.

Oleh karena itu, otoritas pajak telah membentuk satuan tugas atau task force yang bertugas menganalisa dan mengevaluasi tindak lanjut pelaksanaan optimalisasi data rekening keuangan yang sebelumnya telah diteliti dan diidentifi kasi.

BELANJA MODAL

Di sisi lain, belanja kementerian dan lembaga (K/L) sejauh ini masih belum maksimal. Padahal, belanja modal yang produktif sangat dibutuhkan dalam rangka menstimulus perekonomian yang terus tertekan akibat ketidakpastian global.

Per Agustus 2019, belanja modal di seluruh K/L hanya terealisasi sebesar 33,3% dari pagu anggaran atau hanya terealisasi sebesar Rp63 triliun dari Rp189,3 triliun yang dianggarkan.

Realisasi belanja modal per Agustus 2019 merupakan yang paling rendah jika dibandingkan periode yang sama selama 3 tahun terakhir. Pada 2017 dan 2018 K/L berhasil merealisasikan belanja modal masing-masing sebesar Rp75 triliun dan Rp70,7 triliun.

Secara proporsi realisasi belanja modal pada Agustus 2019 juga paling rendah. Pada Agustus 2017 dan Agustus 2018 realisasi belanja modal mencapai 33,4% dan 34,7% dari pagu masing-masing tahun berjalan.

“Belanja modal realisasinya selalu yang paling rendah dalam 3 tahun terakhir dan ini menjadi tantangan bagi kita untuk meningkatkan perekonomian,” kata Sri Mulyani.

Hal yang sama juga terlihat pada realisasi DAK Fisik yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun- tahun sebelumnya. DAK Fisik per Agustus 2019 hanya terealisasi sebesar Rp17,76 triliun atau 25,62% dari pagu yang mencapai Rp69,32 triliun.

Apabila dibandingkan dengan bulan yang sama pada 2018, realisasi DAK Fisik mencapai Rp28,49 triliun atau 45,64% dari pagu yang mencapai Rp62,43 triliun.

“Di sini nampak pola bahwa belanja dalam bentuk transfer uang cenderung cepat terealisasi, sedangkan yang terkait fisik seperti DAK Fisik dan belanja modal terus lambat,” ujar Menkeu.

Dia menambahkan, pemerintah akan terus menggunakan instrumen APBN dalam rangka menggenjot perekonomian meski pendapatan negara masih terus tertekan dalam beberapa bulan terakhir.

Mengingat dampak dari ketidakpastian global yang mulai berpengaruh terhadap perekonomian domestik, Sri Mulyani mengatakan tidak mungkin bagi pihaknya untuk memangkas belanja.

Oleh karena itu, pemerintah akan terus mendorong K/L untuk melak- sanakan belanja yang produktif dan mampu menopang perekonomian.

“Dengan kondisi ekonomi yang mengalami tekanan, maka penggunaan APBN sebagai penyangga akan tetap dilakukan tanpa mengurangi belanja,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, mengatakan dalam rangka menjaga defisit anggaran di angka yang telah ditetapkan, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengerem belanja.

Meski demikian, Yustinus mengatakan sesungguhnya defisit anggaran masih bisa didorong mengingat luasnya ruang fiskal yang dimiliki oleh pemerintah. “Kalau defisit masih bisa ditolerir saya kira masih oke untuk belanja sesuai rencana,” ujarnya.

Oleh karena itu, Yustinus berpandangan pemerintah masih mungkin untuk mendorong defi sit anggaran mencapai 2% dari PDB.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only